Atribut Sang Jendral

Ternyata, sepeninggal Jendral Soedirman, beliau masih meninggalkan benda-benda bersejarah yang dewasa ini terpampang di dinding-dinding Museum, penasaran?

TIK dan Trend IT? Sama saja, tuh....

Orang-orang bilang belajar TIK itu gak penting, karena susah! Eitts, siapa bilang? Yuk simak 'saweran' Filza tentang TIK!

Kata Rifi: SMA itu Seru Banget!

Rifi membungkus cerita SMA-nya dengan bungkusan warna-warni, penasaran bagaimana kisah SMA dia? Baca lebih lanjut

Belajar Singkat Bahasa Jepang, yuk!

Nashir ingin membagi-bagi ilmu 'Ke-Jepangannya' dengan caranya sendiri. Hemm, memangnya benar belajar bahasa Jepang itu tidak sulit?

Simak Review Museum Polisi!

Salah satu penyawer, Adipa Rizky, mengadakan kunjungan museum Polri di Blok M. Penasaran bagaimana kisah singkat 60 menit yang dialaminya?

Masa SMA di Labsky itu Gila! Dan Gila itu Keren!

Inilah SMA Labschool Kebayoran


          Putih, putih warna gedungnya. Di depannya bertenggerkan pagar-pagar ‘laras panjang’ bewarna hijau dengan pintu geser di bagian ujungnya, dekat pos satpam, muat untuk keluar masuk dua  buah mobil. Setiap pagi dan sore, di depan gedung itu berubah menjadi  seperti ‘pasar tumpah’. Namun tidak ramai oleh para penjual, hanya mewariskan satu sifat dari pasar tumpah, macet! Macet oleh kesatuan berseragam yang tumpah dari mulut gedung, tepat pada jam 3 sore. Memenuhi trotoar bercorak putih abu di depan gedung, sampai lalu lalang sebrang jalan oleh kesatuan berseragam yang hendak jajan itu.  Setiap mereka menyebrang jalan, satuan pengamanan turun tangan  dengan tongkat ajaib bertandakan “stop” , mobil-mobil berhenti serentak terinjak rem.  Ah,  itu pemandangan yang kulihat dari senin sampai jumat, sudah pekat teringat dalam otak ini, macam sablon dengan plastisol. Gedung itu adalah gedung SMA Labschool Kebayoran, orang awam pun tahu, setelah membaca sebuah plang putih yang menggurat di depan sekolah itu.

          Aku adalah bagian dari kesatuan itu. Kesatuan yang menuntut ilmu di sekolah yang menyimpan seribu satu cerita untuk para anggotanya. Cerita senang, bangga, persahabatan, ketar-ketir, sampai elegi patah hati ala murid SMA.  Aku katakan, bagiku masa SMA ku ini sebagian besar terhabiskan di sekolah itu, dan aku jamin semua lembaran cerita ala anak SMA bak sudah siap memfasilitasi para murid di sekolah itu. Hmm..,  tak ada salahnya bukan untuk “sharing” cerita SMA? Ini cerita SMA selama 2 tahun versiku, mungkin tak banyak, bak hanya 3 lembar dari 500 halaman cerita SMA ku. Aku pilih momen yang paling teringat dalam masa SMA ku, tak perlulah semuanya.  Aku yakin, bosan jadinya Anda, kalau semua lembaran detik dalam masa SMA ku ini kuketik di waktu yang singkat ini.  Tapi semoga bisa membawa memori “flashback” hitam-putih , menguar kembali cerita SMA tersendiri kepada Anda, para pembaca. Untuk Anda yang sudah lebih tua dari saya, untuk orang asing, untuk siapapun.

Bagian 1:  Hari Pertama, ‘Ngompol’ Keringat!



            Hari itu tampak berbeda, 180 derajat jungkir balik beda dari keseharianku. Bangun pagi jauh lebih awal, jamnya persis seperti marbot mesjid yang hendak mengumandangkan adzan Subuh. Karena aku loncat sekolah  10 km jauhnya, tempo hari waktu SMP di Cinere, sekarang masa SMA ini di selatan Jakarta. Sekilas menyadarkanku kala itu, ini ‘bakal’ jadi keseharianku selama masa SMA dengan kemacetan khas ibukota Indonesia itu.  Wah , asli! Tak bohong, waktu itu ketar-ketir jemari bergetir.  Ingin tahu rasanya masa SMA ini. Masa di mana celana sekolahku bukan lagi berwarna biru, melainkan abu-abu, asli hasil keringat abang penjahit pasar Mayestik. 

            Ini  sensasi  hari pertama masa SMA! Persis seperti Andrea Hirata menggambarkannya dalam novelnya,  Sang Pemimpi. Entah apa saja yang kupikirkan masa itu, tak ingat! Bercampur baur semuanya jadi gado-gado! Dari rumah sampai dalam perjalanan, pikiranku sudah melayang entah ke mana meninggalkan tubuh. Membayangkan seperti apa masa SMA yang disebut-sebut sebagai masa ‘legenda’ sekolah oleh orang-orang. Jangankan disahut waktu itu, dicolekpun mungkin tak respon. Ngompol keringat rasanya…
            Tak selang berapa lama tersadarkan aku dari lamunan akibat kemacetan yang spontan menandakan sudah dekat sekolah, tak bermaksud “lebay”. Kemacetan ala sekolahku yang melegenda sampai sering dicemooh pengguna jalan melalui Radio El-Shinta, radio Informasi lalu lintas.  Bunda dan Abah (Sebutan untuk Bapak dalam bahasa Sunda, RED) tidak menggiringku seperti saat hari pertama SD, persis macam anak domba.  Mereka hanya mengucapkan salam, aku menerjemahkannya sebagai “Selamat datang di dunia peralihan, masa SMA!” . Yah, paling tidak mereka mengantarku di hari perdana itu, walau mereka bilang searah dengan arah kantor mereka.

             Salam, kemudian melambaikan tangan kepada kedua orang tua pertanda ‘dadah’. Aku mendepakan kakiku di atas tanah macam orang Russia menari, ‘lebay’ memang tapi apa boleh buat, bagian dari diriku memotivasi sendiri, ‘hehe….’ . Berderap maju jalan menuju gerbang sekolah. Langkah demi langkah, dalam otakku terputar lagu Chrisye berjudul Anak Sekolah, tapi sayang hanya reffnya saja yang kuingat betul “, Engkau masih anak sekolahh …Satuu SMA”, terulang-ulang saja. Hari itu tampak ramai, sangat ramai. Kulihat banyak murid-murid baru, dari seragam mereka tentunya yang masih baru.  Kusadari dewasa ini, hari itu betapa membludaknya volume manusia di sekitar sekolah. Betapa tidak, banyak dari orang-tua murid yang ikut menemani anaknya. Kelak didokumentasikan dalam sebuah kamera poket, dicetak, kemudian dibingkai dan dikenang dengan ‘cekakak-cekikikan’ oleh sekeluarga suatu saat nanti saat dia besar, pikirku.

            Dari pintu gerbang sudah disambut oleh keramah-tamahan calon guru-guruku, kasih sayang ala guru SMA. Walau agenda hari itu bukan belajar, hanya pengenalan oleh pihak sekolah kepada murid-muridnya. Sesampainya di dalam, sudah bertumpah-ruah wajah-wajah baru memenuhi aula lantai dasar. Melihat dari papan coklat berisikan daftar murid  yang berdiam diri di depan gerbang  , rasionya pas. 50 persen calon murid dari SMP Labschool, sisanya dari SMP luar Labschool. Tak heran, ada yang saling kenal, tidak kenal, sangat kenal sampai-sampai membentuk lingkaran arisan tersendiri untuk bercengkrama. Bagiku? Haha, 99/100 tidak ada yang kukenal! Macam perantau, bukan dari Padang. Tapi dari pinggiran Bogor  yang berjongkok tentara untuk bersekolah di Jakarta. Ada satu teman yang kukenal, Tomi kupanggil. Seorang pria berkacamata teman Sekolah Dasarku. Teman seperjalananku, karena memang satu jemputan ketika menginjak Sekolah Dasar. Tapi belum kulihat batang hidungnya. 

            Diamku kala itu bagai seorang ‘sales promotion girl’ yang lupa bagaimana cara untuk berbicara. Kembali, frase “ngompol keringat” pas sekali  untuk situasi ini. Bagiku, atau mungkin kebanyakan orang , hal yang paling sulit dalam berkenalan adalah basa-basinya. Bagaimana memulai pembicaraan dengan topik yang tepat, atau sapaan yang cocok. Karena tak mungkin lagi teori berkenalan ala SD kuterapkan di sini, langsung menjulurkan tangan pertanda ingin bersalaman lalu seperti didoktrin buku taman kanak-kanak lanjut berkata “, halo nama saya Mugi, nama kamu?” , tak mungkin… Ada 2 pilihan yang kupikir, apakah dimulai dengan kata “halo”, “selamat siang”, “apa kabar?”  atau mungkin dimulai dengan kalimat seratus persen basa-basi, seperti “Sori, tahu toilet di mana?” , lalu dilanjutkan dengan duduk di sebelahnya bukannya beranjak ke toilet, persis seperti bualan para pencopet di halte Transjakarta. Memang aku ini suka membuat “ribet” sesuatu, kadangkala berpikir 2 setengah kali, di mana orang-orang berpikir hanya dua kali dalam tulisan mereka. Tapi inilah aku. Aku pikir , kalau salah, bisa jadi ikan asin yang sedang dijemur. Buntu bahasa atau bahkan ditertawai oleh orang-orang sekitar sampai terguling terbahak-bahak. Pikirku kala itu, pengalaman adalah nomor satu. Yap, bagai tuan hilang kutang, aku cari orang yang tak didampingi teman kala itu.  Setidaknya bisa menjadi bekal, untuk percaya diri ‘mondar-mandir’ ke sana sini ditemani teman baru, hehe…

            Beranjaklah aku untuk duduk di kursi aula, melebar ke samping bentuknya seperti kursi taman.  Kulihat kanan-kiri, semua pemandangannya sama, murid-murid baru yang “celingak-celinguk” beradaptasi. Ada yang hanya bertengger menyandar pada dinding, ada yang sesekali bermain dengan telepon genggam lalu memasukannya ke kantong, dan mengeluarkannya lagi, begitu sampai berulang-ulang menjaga “image” mungkin. Selang beberapa menit,  ada yang duduk di sebelahku, badannya besar berkacamata, perawakan tampan orang Belanda, hanya menggambarkan tapi tenang aku masih normal . Kumulai basa-basiku “, Lama ye nunggunya, dari sekolah mana lo?”. Dia jawab”, Emang lama, dari SMP Al-Ikhlas “. Berbincang-bincanglah kami, tak lama datang lagi seorang tinggi besar, berkacamata lagi dengan gaya bak seorang desainer visual.  Kumulai perbincangan “, Lama ya nunggu” sambil menepuk bahu orang yang pertama pertanda meminta persetujuan, kulanjut “, dari mana?”. “Iya lama, dari SMP Labschool Cinere, kau?”. Yah dimulai ceritaku dan mereka, 2 dari banyak sahabatku. Untungnya mereka orang yang gampang bergaul dengan banyak orang, sehingga tak “dead clock” macam di persidangan. Mereka adalah Juang, si orang pertama yang kukenal di tanah Labschool itu, dan Vebryto, yang belakangan kuketahui juga perawakan orang Belanda. Temanku banyak yang orang Belanda, haha.. Ceritaku dengan sahabat-sahabatku dimulai dari titik tersebut. Mereka berdua adalah 2 dari beberapa sahabatku kelak di sekolah itu..Dan saat itulah, ngompol keringatku teratasi..

            Itulah kisah yang paling kuingat di hari pertama sekolah. Hmm..cerita lainnya adalah motivasi oleh seorang guru, Pak Azhar namanya, di depan mimbar jadi-jadian,  kursi beton ala gymnasium. Menurutku belum perlu diceritakan, aku ini belum siapa-siapa, mungkin kelak ketika sudah berjasa  pada masyarakat , Insa Allah….




Bagian 2: Jangan Masuk Kelas, Bisa Gila kau!


























Bukan bisa gila lagi, bisa mati suri jadinya! Tertawa setiap hari “bareng” teman-teman, macam orang gila yang putus urat malu. Benar kata orang-orang, SMA itu masa yang paling indah saat bersekolah. Di tahun pertama aku bersekolah, ‘mitos’ itu terbuktikan oleh mata kepalaku sendiri, gila!

            Walau murid baru, tapi kelakuan sudah macam preman cilik yang disekolahkan, membandel tapi takut hukuman. Untungnya tak macam kelakuan anak lupa induk, sangat  hormat pada guru-guru. Cerdas-cerdas pula dalam hal kesempatan. 

            Buatku, selama 2 tahun menuntut ilmu di Labschool ini, tahun pertama adalah tahun yang paling menyenangkan. Entah mengapa. Mungkin karena jumlah murid yang relatif lebih banyak ketimbang tahun keduaku.  Mungkin juga, karena di tahun itu semua warna-warni murid-murid masih tercampur jadi satu. Hmm..benar, sangat berwarna! Di tahun pertama, murid yang kelak berada di jurusan IPA,  atau  kelak berada di jurusan IPS, masih tergabung dalam satu kelas tersebut. Karena penjurusan baru terlaksana pada tahun kedua, alias kelas 11. Seperti yang orang bilang “ , Becanda anak IPS dan IPS itu berbeda.”. Nah apa jadinya kalau bergabung jadi satu? Itulah kelas 10, macam orkestra ‘rock’ digabungkan dengan musik klasik.

            Di kelas X  B itu. Asuhan  Pak Ali Pane, seorang Bapak bermarga Pane yang menyangi anak 
didiknya, ‘omelannya’ khas ketika marah karena kebandelan kami. Lima menit beliau memarahi kami, lima menit kemudian kami melihat beliau senyum kembali. Itulah watak beliau, watak sayang yang tak terlupakan.

            Murid-muridnya? Macam-macam, dari Negeri Kazakhstan sampai Amerika Serikat ada di sini. Gilanya gila seribu jenis macam ‘Gorila Ragunan’.  Merekalah teman-temanku kelas 10 tempo hari. 

            Bagaimana dengan Anda? Saya yakin ‘gila’ juga, tapi ini anggota gila versi yang saya alami.  Aku ceritakan sedikit tentang mereka. Mereka yang terkenal dengan ciri khasnya sampai ada yang sering tertulis di lembar laporan guru.   























             Orang  yang paling terkenal di sekolah saja, ada di kelasku. Omar Hashwi namanya. Warga Amerika keturunan Lebanon yang mengikuti program pertukaran pelajar “AFS”.  Setiap istirahat, para ‘perempuan penasaran’ dari kelas lain singgah di kelas kami hanya untuk bercengkrama dengannya, mempraktekan bahasa Inggris mereka juga mungkin. Omar itu artis dadakan. Setiap hari bak sedikitnya ada 1 orang yang minta foto dengannya, mungkin untuk dijadikan ‘profile picture’ di Facebook. Selain karena ketampanannya di tengah murid pribumi seperti kami, orangnya ramah memang, ‘low-profile’, dan untungnya dia pandai berbaur dengan murid-murid pribumi.
            Ada Fajar si ketua kelas pengemban tanggung jawab dari guru-guru mata pelajaran. Baginya terkadang pulang sekolah bukan berarti santai, melainkan bertapa di tukang fotokopi sembari menunggu selebaran tugas yang diperbanyak untuk anak buahnya. Sebenarnya, aku itu  wakil kelas. Tapi mau dikata apa dia lebih rajin dariku dalam hal jabatan tersebut, haha..
            Ada pula si tiga bersaudara; Aksa, Andyan, dan Ali Habibi namanya. Mereka bandarnya gila. Si Aksa adalah ‘barney’ cerdas yang gemar menirukan suara kartun secara tiba-tiba. Ketika kelas hening ,dia menggumam cuek bebek “, Ngiuuungg-ngiunng “.  Jadi bukan setan, itu pasti Aksa! Orang tahu itu pasti Aksa, pasti tertawa pula. Tapi tak tahu suara apa yang ditirukannya lagi. Kadang suara mobil, bebek, sampai pengembala kambing.  Sering kutanya padanya “, Eh Aksa, Udah minum obat lu? “. Sontak kuuingat dia menjawab dengan gaya koboi  “, Belooom, apa lu? Yiha-yiha. “.  Wataknya persis seperti Michael Winslow yang memerankan Cadet Larvell Jones dalam film Police Academy, kalau Anda pernah menontonnya, kadang gila kadang waras. Ada pula si Ali Habibi, lelaki kurus berkacamata bermata sipit. Satu-satunya orang yang suka mengganggu orang lain hanya dengan ‘kecengar-cengirannya’ tertawa seperti Sule, lalu pergi cabut hilang entah ke mana.  Abstrak memang , kalau Anda jadi saya kala SMA ini, pasti berpikir “, Ngapain si lu bi? Bisulan yah?”. Tak ada yang  tahu jalan pikirannya ke mana, dari timur ke barat atau ke mana. ‘Cengar-cengir’ sambil ‘colek’ sana ‘colek’ sini berlaga bencong taman Blok M memasang tampang memelas, tapi untungnya sang Habibi tidak mengamen sambil pasang tarif bernyanyi. Ada pula si Andyan, lelaki berambut pendek   dengan tinggi sekitar 163 cm, lebih pendek dari keduanya.  Andyan ini beda, dia hanya seorang ‘supporter’ dalam kegilaan mereka berdua. Orang berkulit sawo matang ini mengiringi Aksa dan Habibi dalam menerapkan kegilaannya pada orang lain, lalu dia tertawa khas seperti Tukul menertawai bintang tamunya. Ya itulah mereka bertiga, si gila dari sepuluh B, mungkin kalau mereka jadi artis film, bakal laku menyaingi Warkop DKI. 

            Ada pula, Ranggi dan Nabel, mereka kujuluki si sekongkol.  Kerjaannya menjahili orang lain. Setiap harinya sudah ada naskah drama kejahilan yang dipersiapkan oleh seorang maestro Ranggi dalam memainkan peranan kejahilannya. Disokong Nabel sebagai pemain latar-belakangnya. Korbannya pun kalau tidak si gila 3 bersaudara itu, ya kami sisanya, entah itu laki-laki atau perempuan. Untuk 3 bersaudara itu, kulihat olehnya seperti sudah direncanakan dari jauh-jauh hari, dan ketika pertunjukannya berhasil, senyum 5 cm lah mereka sambil tertawa kecil persis seperti pendendam dalam serial Susanna. 

          Pernah suatu ketika, mereka menjalankan aksinya; ‘ngumpetin’ tas orang-orang! Satu kelas ramai, ricuh, dan rusuh menggugat kehilangan tas mereka entah ke mana. Kadang bisa ‘nyasar’ 100 meter jauhnya dari kelas, berada di 2 lantai atas, atau mungkin disembunyikan dekat meja guru dengan modus perlindungan dari guru, tak terlihat maksudnya. Drama penyembunyian tersebut sepertinya menarik perhatian si Habibi untuk ikut dalam pertunjukan. Dia lari ke belakang, sampailah di meja sang ketua kelas yang sedang turun ke bawah ketika pertunjukan itu berlangsung. Diraibnya tas itu, disembunyikannya di tempat sampah, duduklah dia dengan tenang. Selang berapa lama kemudian, Fajar kembali ke kelas. Sadar akan kehilangan tasnya, dia berubah.. Wajah putihnya sekejap menjadi merah apel Amerika, tangannya berkontraksi sambil seolah menggenggam batu lempar Jumrah. Di bentaknya seluruh kelas “, SIAPA YANG NGAMBIL TAS GUE? Gak ada terima kasihnya lo ama ketua kelas yang lagi ke bawah buat bantuin lo pada!”. Kulihat wajah bibi dari depan, ciut merona menjelma jadi itik kecil warna kuning. Bahunya bak mengecil 5 cm, gelagatnya yang mengharapkan sang ketua kelas tertawa berubah menjadi gelagat orang yang menahan kencing selama perjalanan Bandung-Jakarta. Aku simpulkan, “ Si Bibi ketakutan!”. Kami semua sebenarnya hanya menahan geli ingin tertawa, sambil mengenang lembaran-lembaran si ‘cengar-cengir’ Bibi setiap harinya, dan ingin tahu bakal jadi apa Bibi kalau Fajar tahu akan hal tersebut. Entah bakal jadi tempe goreng atau rebung busuk yang berwarna kebiru-biruan. “Yang ngumpetin tas GUA! Tunggu gue pulang sekolah! KITA SELESEIIN SECARA JANTAN! ,” tambah Fajar membuat situasi menjadi canggung, menahan ketawa dan hormat pada kemarahannya , tak luput dengan Pak Estu yang serupa. Tak disangka, Bibi ternyata berani! Beranjak mengambil tas Fajar dari tempat sampah seraya meminta maaf sambil merangkak menjelma menjadi seorang waria kehilangan celana dalamnya. “Jaar maafin gue , Jar. Gue yang ngumpetin, maafin yah, maafin….,” rayu Bibi sambil jongkok memegang erat celana Fajar. Wataknya kala itu berubah menjadi Malin Kundang yang tahu bakal jadi batu kalau durhaka pada Ibunya.  Bedanya, kalau Malin Kundang pasti menghayati dalam setiap kata-katanya dengan nada naik turun.  Inilah Bibi, meminta maaf tiada nada, seratus persen seperti robot gedek yang kehabisan batere.  Saat itu juga, satu kelas tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Bibi. Bibi yang jera mukanya, ‘cengar-cengirnya’ berubah menjadi muka monoton seorang pelaku pantomim asli Taman Ismail Marzuki. Pak Estu tersenyum, disusul dengan terbahak-bahaknya satu kelas di jam pelajaran terakhir waktu itu. Seraya terucap oleh satu kelas “, Selamat Ranggi, rencanamu berhasil! Membuat Bibi si ‘cengar-cengir’ menjadi itik kuning!”. Tak bisa kulupakan sepertinya momen itu, lucu sekali! Kecuali terpentok karena kelapa jatuh dari langit yang membuatku amnesia. 

            Itulah mereka, sebagian dari tokoh-tokoh utama dalam pewarnaan kelas kami, sebagian lainnya berperan dalam pewarnaan dan keramaian sandiwara kelas kami. 

            Walau terbilang barbar, ada satu ritual yang tak mungkin terlupakan juga oleh kami, yaitu ritual permainan kuda tomprok.  Entah dari mana asalnya permainan itu, yang pasti dapat mengisi sela-sela kebosanan kami ketika guru sedang tiada. Permainan kuda tomprok terbagi atas 2 tim. Tim pertama berperan sebagai kuda, dengan satu orang sebagai penjuru menyender pada dinding. Lalu disusul dengan teman-temannya yang menungging bersambung menyerupai badan kuda. Tim kedua berperan sebagai ‘penomprok’  alias pengendara kuda. Permainannya sederhana. Tim pertama harus menahan tomprokan tim kedua yang menaiki punggung mereka yang menungging. Jika tim kedua gagal membuat tunggingan tim pertama luluh lantah, kalahlah tim kedua. Semua lelaki kelas gila itu ikut, tak luput si Omar yang mungkin akan menuliskan ritual barbar itu dalam laporannya kelak sekembalinya di Amerika. Permainan barbar itu ramai membuat dinding asbes mutasi menggedor kelas sebelah, mengganggu pula sepaket dengan tawa canda para kesatuan bandel ini. Sehabis melaksanakan ritual barbar itu, punggung pasti ala tukang panggul amatiran.  Besoknya, sudah biasa menemukan leher sampai punggung teman berbekas koyo tempel yang dibeli di warung.

            Itulah sebagian kecil, sangat kecil, tentang kelasku dan masa SMA ku. Gila memang….bisa jadi gila masuk kelas sepuluh B tersebut. Itu adalah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan dariku, itulah masa SMA yang paling seru bagiku.





Aku dengan Omar











Bagian 3: Ini yang Beda dari Labsky!

            Di sela kesibukan sekolah, Labsky memiliki banyak program demi menunjang kematangan sifat muridnya. Yang paling menonjol, ada kegiatan Trip Observasi dan Bintama.

            Trip Observasi adalah kegiatan di mana murid merasakan hidup layaknya orang desa, hidup sederhana. Murid-murid pribumi kota seperti kami yang terbiasa dengan kota negara berkembang ini, harus hidup di pedesaan selama kurang lebih 5 hari. Tidak ada pesan antar, tidak ada ‘dimasakin’, semua serba mandiri. Masak sendiri, cuci baju sendiri, sampai beres-beres rumah sendiri. Tinggalnya di sebuah rumah yang telah ditentukan penempatan kelompoknya. Selain itu, ada penelitian yang harus dilakukan oleh para murid kelak nantinya dijadikan sebuah buku hasil penelitian. Entah dari penglihatan indera mataku ini, entah apakah kami merepotkan warga sekampung desa atau tidak. Walau mereka bilang, tidak apa-apa menempati desa mereka.  Yang jelas, satu desa yang kami tenggerkan itu jadi ramai, sangat ramai. Setiap malam ada acara yang diadakan oleh kami, sampai dangdutan yang digelar para guru yang asik tiada ‘jaim’nya. Aku pernah menulis tentang TO ini di salah satu surat kabar, mungkin kelak aku bisa ‘share’ di lain kesempatan.




            Ada pula Bintama, Bintama atau Bina Mental Siswa, adalah ajang pengenalan ‘pendisiplinan’ kepada murid-murid oleh sekolah. Pelatihnya pun tak tanggung-tanggung, tempatnya pun tiada tanggung-tanggung. Guru kami, Pak Edi, pernah berkata “, Kalau mau jadi macan, datanglah ke kandangnya! Belajarlah dari situ ”. Tak disangka, aku baru mengerti maksudnya saat kegiatan Bintama ini. Kami belajar di markas Kopasus, di Serang! Entah kupikir pertama kali saat memulai kegiatan tersebut, apa maksud sekolah? Mau didepok kita oleh tampolan Kopasus? Pikirku, Kopasus adalah pasukan elit ketiga terbaik di dunia, kita itu: “ adalah bukan pasukan elit “! Disambal kita pasti! Tapi ternyata, hipotesa ku itu berubah macam membalikan kerikil kecil. Kopasus sebagai pelatih kami warga ibukota, merupakan rumus kimia yang cocok yang dibuat oleh pihak Labschool. Kopasus tahu, kita itu murid berfisik lemah, tidak seperti murid Taruna Nusantara, hasil didikan para tentara. Alhasil, ‘nightmare’ yang kupikirkan sebelumnya ternyata hanya bualan belaka. Kami senang di sana, para pelatih senang kami di sana. Ketawa-‘ketiwi’ setiap saat, walau juga serius saat merangkak menembus  haling rintang asli diperuntukan untuk para calon tentara. Suatu pengalaman yang tiada mungkin terlupakan lagi olehku, aku pernah dilatih oleh tentara! Haha….





Belum Selesai...
 
            Itulah sebagian ceritaku, cerita SMA ku. Yah, masih sangat kurang memang, hanya 8 halaman saat kusalin di peranti lunak Microsoft Word 2007 ini. Tapi untuk membuatnya menarik harus menambahnya lagi hingga 100 halaman mungkin. Mungkin kelak ketika aku sudah sukses berjasa bagi masyarakat dan diriku sendiri,   10 tahun lagi mungkin, aku akan dengan senang hati menceritakannya kembali ketika punya banyak waktu. Aku masih harus berjuang menggapai cita-citaku. Doa para pembaca untuk menggapai cita-citaku sangat kuharapkan, dan pasti aku doakan kembali para pembaca. Terima kasih sudah membaca sepotong cerita dari bagian kehidupanku ini. Salam!!