Dari Labsky Untuk Indonesia

Belajar Sejarah Sangatlah Menyenangkan

BAB I
INDONESIA PADA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI TAHUN 1950

Perdana Menteri Jepang, Koiso, mengumumkan bahwa bangsa – bangsa yang dikuasai Jepang, termasuk daerah Hindia Timur (Indonesia), akan diperkenankan merdeka kelak. Penyebab keluarnya pernyataan tersebut adalah Jepang berharap rakyat bangsa – bangsa yang dijanjikannya itu bersedia membantu Jepang dalam mempertahankan daerahnya melawan pihak sekutu.
Pada tahun 1945 ada dua partai yang berdiri yaitu, partai politik yang berhaluan agama yang bernama Partai Kristen Indonesia (PARTINDO) yang dipimpin oleh Dr. Probowinoto dan gabungan partai politik berhaluan social-komunis yang bernama Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Rakyat Sosialis (PRS) yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin.
Pada tanggal 28 Mei 1945 Moh. Yamin, Supomo, dan Soekarno meresmikan Badan Penyelidik Usaha – Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai. Badan ini mulai merumuskan Undang – Undang Dasar, dimulai dengan persoalan dasar Negara.
Pada tanggal 29 Mei 1945 Moh. Yamin mengadakan sidang pertama BPUPKI yang mengemukakan lima gagasannya tentang dasar Negara, yaitu :

1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

Pada tanggal 31 Mei 1945 Supomo membacakan gagasannya yang berisi :

1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan Lahir dan Batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat

Pada tanggal 01 Juni 1945 Soekarno mengemukakan gagasannya, yang diberi nama Pancasila. Oleh karena itu, hari ini dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Yaitu :

1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasonalisme atau peri kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan social
5. Ketuhanan Yang Maha Esa

BPUPKI sempat membentuk suatu panitia kecil yang bertugas menampung saran, usul, dan konsep – konsep yang diberikan. Panitia ini dipimpin oleh Soekarno yang terdri atas Moh. Hatta, Moh. Yamin, Ahmad Subarjdo, A. A. Maramis, Abdulkadir Muzakir, Wachid Hasjim, H. A. Salim, dan Abikunso. Panitia ini lebih dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang didalamnya terdapat rumusan dasar Negara setelah mengalami perubahan tujuh kata dalam dasar yang pertama.
Pada tanggal 10 Juli 1945 sidang kedua ini membahas tentang rancangan Undang – Undang Dasar, termasuk pembukaan atau preambulnya oleh Panitia Perancang UUD yang diketuai oleh Soekarno.
Pada tanggal 11 Juli 1945 Panitia Perancang UUD mengemukakan tiga konsep yang telah menjadia hasil bahasannya. Ketiga konsep tersebut ialah pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan UUD, dan batang tubuh UUD. Konsep – konsep ini diterima BPUPKI. Konsep pernyataan Indonesia merdeka disusun dengan mengambil tiga alinea pertama Piagam Jakarta dengan sisipan – sisipan, terutama di alinea pertama dan kedua. Sementara tu, konsep pembukaan UUD hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat dan terakhir Piagam Jakarta. BPUPKI kemudian membentuk sebuah Panitia kecil perancang UUD yang diketuai oleh Supomo. Hasil rumusan Panitia Kecil ini disempurnakan bahasanya oleh Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri atas Husein Djajadiningrat, H. Agus Salim, dan Supomo.
Pada tanggal 06 Agustus 1945 kota Hiroshima selama Perang Dunia II merupakan pusat regional militer dan produsen peralatan perang. Hiroshima dijatuhi bom atom yang dijuluki “little boy” yang dilepaskan oleh pesawat B-29 Superfortness.
Pada tanggal 07 Agustus 1945 karena BPUPKI telah menyelesaikan tugasnya, maka dibubarkan dan digantikan oleh Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai, yang beranggotakan 21 orang yang mewakili seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Badan ini dipimpin oleh Soekarno dengan wakilnya Moh. Hatta dan penasihatnya Ahmad Soebardjo.
Pada tanggal 09 Agustus 1945 PPKI resmi. Didirikan di Dalat, Saigon, oleh Jendral Terauchi selaku penglima armada Jepang untuk Asia Tenggara.
Pada tanggal 09 Agustus 1945 pula kota Nagasaki menyusul dijatuhi bom atom yang dijuluki “fat man”.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu karena peritiwa tanggal 09 Agustus 1945 membuat kekuasaan Jepang semakin melemah.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Sutan Sjahrir mendesak Ir. Soekarno dan Moh. Hatta untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu janji Jepang. Karena ia menganggap bahwa itu hanya tipu muslihat Jepang. Desakan ini dilakukannya dalam pertemuan dengan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tak lama kembalinya dari Dalat.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 pula di Laboratorium Bakteriologi (Jakarta Pusat) diadakan pertemuan antara beberapa pemuda dan mahasiswa. Chairul Saleh sebagai pemimpin pertemuan tersebut. Mereka sepakat untuk menolak segala bentuk hadiah kemerdekaan dari Jepang. Meraka juga sepakat bahwa kemerdekaan itu adalah hak dan persoalan rakyat Indonesia sendiri yang tidak bergantung pada bangsa lain. Oleh karena itu, kemerdekaan harus segera diproklamasikan. Para pemuda juga akan meminta Soekarano dan Moh. Hatta untuk memutuskan segala hubungannya dengan Jepang. Kemudian rapat memutuskan untuk mengirim Wikana dan Darwis kepada kedua tokoh tersebut untuk menyampaikan keputusan rapat para pemuda.
Wikana dan Darwis tiba di tempat kediaman Soekarno di Jalam Pegangsaan Timur, no. 56, Jakarta, sekitar pukul 21.00. keduanya menyampaikan hasil – hasil keputusan rapat. Mereka juga mendesak agar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dinyatakan pada tanggal pada keesokan harinya, pada tanggal 16 Agustus 1945. Pada waktu itu, datang beberapa tokoh nasionalis seperti Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri, Samsi, Buntaran, Sudiro, dan Subardjo. Setelah berunding dengan tokoh – tokoh tersebut, Soekarno menyatakan bahwa mereka tidak dapat memenuhi permintaan para pemuda. Soekarno menyatakan bahwa pada tanggal 16 Agustus 1945 sudah direncanakan akan diadakan sidang PPKI yang hendak membicarakan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Lewat tengah malam, para pemuda kembali mengadakan pertemuan di Asrama Baperpi (Badan Permusyawaratan Pemuda Indonesia) di Jl. Cikini, no.71, Jakarta. Mereka membahas sikap tokoh – tokoh politik, misalnya Soekarno dan Moh. Hatta. Akhirnya, mereka sampai pada kesimpulan untuk bertindak tegas. Salah satunya adalah mengamankan kedua tokoh tersebut dari pengaruh Jepang.
Tempat yang dipilih untuk mengamankan Soekarno dan Moh. Hatta adalah Rengasdengklok, suatu kota kawedanan d Karawang. Tempat ini dipilih karena merupakan markas PETA (Pembela Tanah Air) di bawah Cudanco (Komandan Kompi) Subeno dan letaknya terpencil dari jalan raya Jakarta-Cirebon. Selain itu, Cudan Rengasdengklok berada di bawah Komando Daidan PETA Purwakarta yang mempunyai hubungan erat dengan Daidan PETA Jakarta.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 usaha para pemuda tersebut untuk mengamankan Soekarno dan Moh. Hatta dilaksanakan pukul 04.00 dini hari. Chairul Saleh dan Muwardi ditugaskan untuk menjemput Soekarno, sedangkan Sukarni dan Jusuf Kunto menjemput Moh. Hatta.
Sekitar pukul 04.00 WIB, berangkatlah rombongan dari Pegangsaan Timur, no. 56, Jakarta. Rombongan ini dikawal oleh pasuka PETA di bawah pimpinan Cudanco Singgih.
Rombongan Soekarno dan Moh. Hatta tiba d Rengasdengklok dengan selamat pada pagi hari. Rombongan ini terdiri atas Sukarni, Jusuf Kunto, Sutjipto, dan Umar Bachsan. Sukarni menjelaskan maksud membawa kedua tokoh politik tersebut menyikir dari Jakarta. Soekarno dan Moh. Hatta diminta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tetapi keadaan di Jakarta mulai genting. Jusuf kunto kembali ke Jakarta untuk melaporkan keadaan di Rengasdengklok kepada Ahmad Subardjo yang sedang mencari Soekarno dan Moh. Hatta. Akhrinya mereka mencapai kesepakatan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kelompok kaigun sudah menyiapkan temapt yang aman, yaitu rumah kediaman Laksamana Tadashi Maeda.
Mereka menjemput Soekarno dan Moh. Hatta, kemudian meminta mereka segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Akhirnya kedua tokoh tersebut bersedia untuk menandantangani pernyataan kemerdekaan Indonesia, asalkan diadakan di Jakarta. Awalnya para pemuda menolak, tetapi Ahmad Subardjo memberikan jaminan. Akhrinya mereka pun setuju.
Sekitar pukul 23.00 WIB. Rombongan tiba di Jakarta. Sesampainya mereka di sana sudah menanti B. M. Diah dari surat kabar Asia Raya, Semaun Bakri dari Jawa Hokokai, Sayuti Melik. Iwa Kusumamantri, dan para anggota PPKI. Subardjo dan Iwa mendatangi tempat para pemuda untuk mengajak mereka ke rumah Laksamana Maeda. Tetapi mereka menolah karena tidak ada kesepakatan bahwa di sana ditandatanganinya. Subadjo menjelaskan karena mencegah gangguan dan halangan dari Kempetai Jepang. Para pemuda sepakat, tetapi hanya Chairul Saleh dan Sukarni yang datang sebagai wakil para pemuda. Anggota PPKI banyak yang datang.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 sekitar pukul 01.30 perundingan dimulai. Soekarno dan Moh. Hatta mengusulkan agar proklamasi kemerdekaan ditandatangani keesokan harinya di hadapan sidang PPKI. Sukarni dan Chairul Saleh sebagai wakil kaum muda menolak usul tersebut. Sukarni kemudian membacakan teks yang sudah dipersiapkan oleh para pemuda, yang berisi pernyataan kemerdekaan, penekanaan bahwa rakyat akan merebut badan – badan pemerintahan yang dikuasai asing. Soekarno, Moh. Hatta, dan anggota PPKI lainnya, menganggap teks tersebut terlalu keras dan mereka menolaknya.
Soekarno dengan bantuan Moh. Hatta dan Ahmad Subardjo kemudian meyiapkan teks dengan judul “Maklumat Kemerdekaan”, atas usul Iwa, kata maklumat diganti dengan istilah proklamasi sehingga berunyi “Proklamasi Kemerdekaan”. Keseluruhan rumusan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia teridir atas dua bagian pokok. Bagia pertama merupakan saran Ahmad Subardjo yang diambil dari rumusan BPUPKI. Sementara itu, bagian kedua merupakan buah pikiran Moh. Hatta.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi hari, barisan pemuda dan rakyat yang mendengar rencana kemerdekaan diproklamasikan berbondong – bondong datang ke lapang Ikada (sekarang lapang Monas, Jakarta Pusat). Infomasi yang mereka dapat itu tidak benar, padahal proklamasi di adakan di depan kediaman Soekarno, di Jalan Pegangsaan Timur, no.56 Jakarta Pusat. Setelah mendengarnya mereka segera menuju kesana.
Menjelang upacara proklamasi terjadi ketegangan antara Bung karno dan Muwardi. Muwari mendesak Bung Karno untuk segera memulai upacara, tetapi Bung Karno baru memulai saat Bung Hatta muncul beberapa menit sebelum pukul 10.00 WIB.
Dalam suasana yang hening, Abdul Latief, Cudanco Peta, mengibarkan bendera Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya yang secara spontan dinyanyikan oleh segenap hardirin. Kurang lebih lima belas menit setelah upacara, serdadu Jepang datang untk\uk mencegah, tetapi mereka terlambat. Rakyat sudah bertekad untuk mempertahankannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tetapi bukanlah tujuan akhir yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia dalam melepaskan diri dari para penjajah, melainkan awal dari pembentukan sebuah Negara yang demokratis, berdaulat, dan memiliki integritas di lingkungan internasional.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mencapai kesepakatan tentang beberapa hal yang mendasar, yang kemudian menjadi dasar terbentuknya system birokrasi di Indoensia, yaitu :
1. Menetapkan dan mengesahakan UUD RI 1945
2. Memilih dan mengangkat pimpinan tinggi Negara
3. Membentuk Komite Nasiona Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada tanggal 19 Agustus 1945 sidang kedua PPKI berhasil membentuk 12 departemen dan 4 menteri Negara tanpa portofolio sebagai badan eksekutif.
Pada tanggal 22 Agustus 1945 KNIP yang baru saja dibentuk berwenang untuk membantu tugas kepresidenan menjadi actor yang secara aktif menjaga pemerintahan di Jakarta saat para pemuda bangsa melakukan hijrah pemerintahan ke Yogyakarta.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) berhasil dilantik atas prakarsa dari Sahrir sebagai perwakilan terkuat dari kelompok sosialis, dinyatakan perlunya dibuat sebuah badan pekerja untuk memaksimalkan pencapaian tugas – tugas dari KNIP.
Pada tanggal 02 September 1945 telah disusun kabinet yang pada dasarnya mencerminkan komposisi yang mewakili keragaman ideologi di Indonesia.
Pada tanggal 04 September 1945 hasli sidang PPKI yang dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 1945 diumumkan sebagai berikut.
1. Susunan 12 Departemen bentukan PPKI berserta nana – nama menterinya
No. Departemen Menteri
1 Menteri Dalam Negeri R. A. A. Wiranata Kusuma
2 Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo
3 Menteri Keuangan A. A. Marawis
4 Menteri Kehakiman Prof. Dr. Supomo
5 Menteri Perhubungan (ad interim) Abikusono Cokrosujono
6 Menteri Kemakmuran Ir. Surachman T. Adisurjo
7 Menteri Kesehatan dr. Buntaran Martoatmodjo
8 Menteri Pengajaran Ki Hajar Dewantara
9 Menteri Penerangan Amir Syarifuddin
10 Menteri Pekerjaan Sosial Abikusono Cokrosujono
11 Menteri Sosial Iwa Kusuma Mantri
12 Menteri Keamanan Rakyat Soeprijadi
2. Susunan 4 Menteri Negara tanpa portofolio
a. Dr. Amir
b. Wachid Hasyim
c. R. M. Sartono
d. Otto Iskandardinata

3. Susunan pembagian wilayah yang terbagi atas 8 provinsi beserta nama – nama gubernurnya

No. Provinsi Gubernur
1 Provinsi Sumatra Teuku Muhammad Hasan
2 Provinsi Jawa Barat Sutarjo Kartohadikusumo
3 Provinsi Jawa Tengah R. Panji Suroso
4 Provinsi Jawa Timur I Gusti Ketut Pudja
5 Provinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara) J. Latuharhary
6 Provnsi Maluku Dr. G. S. S. J. Ratulangi
7 Provnsi Sulawesi Ir. Pangeran Muhammad
8 Provinsi Borneo Noer

Pada pertengahan bulan September 1945 tentara sekutu yang diboncengi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) datang, para pemuda anggota badan – badan perjuangan BKR melakukan gerakan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dproklamasikan. Pemerintah RI kemudian menyadari bahwa BKR tidak cukup solid untuk menghadapi provokasi Belanda. Mayor KNIL Oerip Soemohardjo dipanggil pemerintah untuk menyusun sebuah tentara nasional yang efektif.
Pada tanggal 05 Oktoer 1945 dikeluarkan Mkalumat Pemerintah yang menyatakan berdirinya tentara nasional yang disebut Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Supriyadi, yang pernah memimpin pemberontakan PETA di Blitar. Namun Supriyadi menghilang dan tidak muncul kembali.
Pada tanggal 16 Oktober 1945 posisi wewenang KNIP yang dikukuhkan melalui Maklumat X, menetapkan bahwa KNIP memiliki kewenang eksekutif dan legislative yang setara dengan DPR untuk sementara waktu sebelum dilaksanakannya pemilihan umum untuk memilih anggota DPR yang sebenarnya.
Pada tanggal 20 Oktober 1945 Oerip Soemohardjo Panglima KNIL diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR.
Pada tanggal 03 November 1945 kebijakan mengenai KNIP yang disetarakan dengan DPR tetapi hanya untuk waktu yang sementara yang ditandatangani oleh Wakil Presiden atas desakan dari Sahrir sebagai ketua Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Isi maklumat tersebut sebagai berikut :

1. Pemerintah RI mgnhendaki munculnya partai – partai politik untuk menjadi media dalam menyalurkan dan mempresetasikan seluruh aliran dan faham yang terdapat di Indonesia.

2. Pemerintah RI menetapkan bahwa pembentukan partai – partai politik telah tersusun secara rapi sebelum dilaksanakannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang dilakukan awal Januari 1946.

Maklumat ini hadir sebagai sebuah peraturan dari pemerintah Indonesia yang bertujuan mengakomodasikan suara rakyat yang majemuk. Meskipun partai – partai politik baru bermuculan, setelah dikeluarkannya Maklumat ini, kondisi keragaman ideolodi ini telah berperan besar dalam susunan lembaga kepresidenan Negara dan menetapkan kebebasan untuk membentuk partai politik sebagai sarana pembantu perjuangan.
Pada tanggal 07 November 1945 berdirinya partai politik berhaluan agama yang bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyum) yang dipimpin oleh Dr. Soekiman Wirjosandjojo.
Pada tanggal 08 November 1945 berdirinya partai politik berhaluan sosial-komunis yang bernama Partai Buruh Indonesia (PBI) yang dipimipin oleh Nyono.
Pada tanggal 08 November 1945 pula berdirinya partai politik berhaluan sosial-komunis yang bernama Partai Rakyat Jelata yang dipimpin oleh Sutan Dewanis.
Pada tanggal 12 November 1945, TKR mengadakan konferensi di Yogyakarta. Dalam konferensi tersebut, Kolonel Sudirman dipilih sebagai pimpinan tertinggi TKR. Saat itu, Sudirman menjabat sebagai Panglima Divisi V Banyumas. Oerip Soemohardjo tetap menjabat sebagai kepala staf.
Pada tanggal 08 Desember 1945 berdirinya partai politik berhaluan agama yang bernama Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) yang dipimpin oleh I. J. Kasimo.
Pada tanggal 17 Desember 1945 berdirinya partai politik berhaluan sosial-komunis yang bernama Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) yang dipimpin oleh J. B. Assa.
Pada tanggal 18 Desember 1945 pemerintah secara resmi mengangkat Kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jendral. Sementara itu, Kepala staf TKR dijabat oleh Oerip Soemohardjo dengan pangkat letnan jendral. Sejak itu, komando atau kesatuan – kesatuan bersenjata yang ada, sepert laskar – laskar, diintegrasikan ke dalam TKR.
Pada Januari 1946, TKR berubah menjadi Tentara Repubik Indonesia (TRI).
Pada awal tahun 1946 saat dimana Jakarta dalam keadaan yang genting. Contohnya rawan oleh terror dan intimidasi pihak asing.
Pada tanggal 04 Januari 1946 para petinggi bangsa harus memindahkan ibu kota Negara ke Yogyakarta untuk sementara waktu. Asalan pemilihan Yogyakarta adalah bahwa di kota ini terdapat markas besar tentara, pasukan Laskar Hizbullah Sabilillah, dan Laskar Mataram pmpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang siap sedia untuk bertempur apabila terjadi keadaan yang paling genting sekali pun.
Pada tanggal 29 Januari 1946 berdirinya partai politik berhaluan nasionalis yaitu PNI penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia, dan Gabungan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Sidik Djojosukarso. Menurut partai ini, kemandirian nasional mutlak untuk mecapai Negara berdaulat.
Pada tanggal 05 Juli 1946 sebagai wujud implementasi dari kebijakan ekonomi progresif, pemerintah Republik Indonesia menetapkan peraturan tentang pembentukan Bank Negara Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 02 Tahun 1946, Bank Negara Indonesia 1946 menjadi bank umum pertama milik pemerintah RI. Pemerintah menunjuk Margono Djojohadikusumo untuk menjabat sebgai pemimpin / kepala BNI 1946.
Pada tanggal 01 oktober 1946, pemerintah mengeluarkan UU No. 17 tahun 1946 yang berisi tentang pemberlakuan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). UU ini diperkuat dengan UU No. 19 tahun 1946 yang mengatur penukaran mata uang Jepang terhadap ORI. Berikut ini beberapa peraturan penukaran mata uang Jepang tersebut.

1. Di Jawa dan Madura, satu rupiah ORI sama dengan 50 rupiah uang Jepang.
2. Di luar Jawa dan Madura, satu rupiah ORI sama dengan 100 rupiah uang Jepang.

Pada awal tahun 1947 Indonesia membentuk sebuah lembaga perwakilan dagang di Singapura yang bernama Indonesia Office (Indoff). Lembaga ini bertugas menajalankan tugas diplomasi ekonomi sebagai sebuah strategi untuk mencapai kepentingan luar negeri Indonesia.
Strategi ini cukup efektif karena dua hal utama. Pertama, Negara – Negara yang berinteraksi dagang langsung dengan Indonesia mersa tidak nyaman dengan adanya blockade laut Belanda. Kedua, Negara – Negara partener dagang Indonesia aan secara langsung mendukung Indonesia untuk mencabut blokade laut Belanda berdasarkan alasan kelancaran kepentingan ekonomi dan perdagangan mereka terhadap Indonesia. Pemerintah Indonesia selanjutnya mengintensifkan kontak dagang dengan Negara – Negara yang mamberikan dukungan atas kemerdekaan Indonesia tersebut.
Pada tanggal 19 Januari 1947 keluar kebijakan keuangan dan ekonomi progresif dar pemerintah yang diresmikan bernama Badan Perancang Ekonomi. Badan ini bertugas menyusun rencana pembangunan perekonomian salam dua samapai tiga tahun. Sebagai hasilnya, Dr. A. K. Gani, Menteri Kemakmuran saat itu, mengajukan draf Rencara Pembangunan 10 tahun.
Kasimo yang menjabat sebagai Menteri Urusan Bahan Pangan, juga menggulirkan sebuah rencana untuk melakukan swasembada pangan keras. Rencana ini dikenal sebagai nama Kasimo Plan.
Pada tanggal 03 Juni 1947 presiden RI menetapkan TRI diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 28 Juni 1947 Jendral Sudirman diangkat sebagai Panglima TNI dan dilantik di Yogyakarta.
Pada bulan September 1950 hingga April 1951 pemerintah RI di era awal kemerdekaan juga menyusun sebuah kebijakan perekonomian yang dinamakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng, atau lebih dikenal dengan Program Benteng. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng adalah program ekonomi yang digagas oleh Dr. Sumitro Djojohadikusuma dan diterapkan pada masa kabinet Natsir.
Pada bulan April 1950 hingga 1953 Dr. Sumitro Djojohadikusumo menggagaskan sebuah sistem yaitu bahwa penataan kondisi ekonomi Indonesia harus diawali dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional. Para pengusaha nasional harus diberi prioritas untuk lebih berkembang dnegan pemberian bantusan modal dan pelantikan. Program ini dinamakan Program Bentang yang dimaksudkan untuk menghidupkan industri – industri kecil sebagai kekuatan utama perekonomian nasional.
Meski telah direncanakan dengan baik, program ini tidak berhasil mancapai tujuan. Para pengusaha ternyata justru semakin bergantung kepada pemerintah tanpa berusaha secara mandiri. Program ini dilanjutkan dengan kebijakan Indonesianisasi. Di bawah kebinet Ali Sastromidjojo, Menteri Perekonomian , Iskaq Tjokroadisuryo, berusaha mendorong kemali pengusaha – pengusaha kecil untuk berkembang.

Upaya – upaya yang ditempuh adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah mewajibkan perusahaan asing untuk melatih tenaga – tenaga Indonesia.
2. Pemerintah mendirikan perusahaan Negara
3. Pemerintah memberikan kredit bagi pengusaha nasional
4. Pemerintah memberikan perlindungan hukum yang jelas.

Berbagai kebijakan – kebijakan perekonomian dan keuangan yang digagas oleh tokoh pemikir Indonesia di awal kemerdekaan ini merupakan sebuah langkah awal dalam membangun ekonomi dan moneter Negara.
Pada tanggal 12 Juni 1951 hasil kinerja Panitia Nasionalis de Javasche Bank mulai terlihat. Pemerintah RI memberhentikan Dr. Houwink dari posisi presiden de Javasche Bank dan mengangkat Syafruddin Prawiranegara sebagai presiden de Javasche yang baru.
Pada tanggal 19 Juni 1951 pemerintahan Indonesia mengalami kesulitan dengan kondisi komposisi pegawai Nasionalis de Javasche Bank yang terdiri atas orang – orang Belanda. Karena kebijakan tersebut keuangan tidak dapat dikendalikan secara mandiri oleh pemerintah Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah membentuk Panita Nasionalisasi de Javasche Bank. Berfungsi untuk mempersiapkan pembentukan bank sentral Indonesia sebagai pengatur arus sirkulasi moneter Negara.
Pada tanggal 15 Desember 1951 pemerintah mengeluarkan UU No. 24 tahun 1951. Isinya menyangkut nasionalisasi de Javasche Bank N. V. menjadi Bank Indonesia (BI) yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi di Indonesia. UU ini diperkuat dengan UU No. 11/1953 dan Lembaran Negara No. 40 yang berisi tentang restruktruisasi tatanan birokrasi pejabat keuangan dan moneter Indonesia. Sebagai bank sentral milik pemerintah Indonesia, Bank Indonesia terus menjalankan peranannya dalam mengatur sirkulasi moneter dan menjaga ketahanan moneter Negara hingga saat ini.






BAB II
PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA PADA TAHUN 1945-1949

Indonesia: Era 1945-1949 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
1945
Kembalinya Belanda bersama Sekutu
Latar belakang terjadinya kemerdekaan
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI).
Mendaratnya Belanda diwakili NICA
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
Pertempuran melawan Sekutu dan NICA
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
  1. Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
  2. Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
  3. Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
  4. Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
Ibukota pindah ke Yogyakarta
Karena situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia saat itu) yang makin memburuk, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota. Meninggalkan Sutan Syahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta api, yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian yang terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang ada, karena kereta dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istimewa, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.
1946
Perubahan sistem pemerintahan
Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Diplomasi Syahrir
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945, Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A. Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 November 1945, "Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi yaitu: "mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas bagian
Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook, menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini.
Tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke Den Haag: "menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.
Penculikan terhadap PM Sjahrir
Tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW, Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada Sjahrir, akan tetapi menurut sebuah analisis, publisitas luas yang diberikan Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap Sjahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, yang sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Ia mengumumkan, "Berhubung dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah". Selama sebulan lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan yang luas yang dipegangnya. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun baru tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet.
Kembali menjadi PM
Tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir kembali menjadi Perdana Menteri, Sjahrir kemudian berkomentar, "Kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan dengan kabinet kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga saya harus berkompromi dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus menanyakan pendapatnya dengan siapa saya membentuk kabinet."
Konferensi Malino - Terbentuknya "negara" baru
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
1946-1947
Peristiwa Westerling
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
  • Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
  • Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
  • Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan Linggarjati
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kartosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedang pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, *28 ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia 29 Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).
Agresi Militer I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
  1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
  2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
  3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
  4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
  5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.
1948
Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.
Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Hatta sebagai Perdana Menteri
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrir sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan menjelaskan Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatra Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.
1948-1949
Agresi Militer II
Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Perjanjian Roem Royen
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan Belanda bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.
Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
  • Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
  • Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.
Penyerahan kedaulatan oleh Belanda
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.


BAB III
INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI PARLEMENTER DAN TERPIMPIN

Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin

Sejarah Indonesia masa Demokrasi Parlementer diwarnai dengan 7 masa kebinet yang berbeda dan gagalnya konstituate membentuk UU baru. Kinerja kabinet sering ditentang Parlemen.

Kabinet Natsir

(6 September 1950 - 18 April 1951). Hasil kerja: Indonesia jadi anggota PBB, politik Luar Negeri RI “bebas aktif”, perundingan masalah Irian Barat.

Kabinet Sukiman

(26 April 1951 – 26 April 1952). Masalah keamanan dalam negeri menghambat kinerja kabinet. Indonesia menandatangani Mutual Security Act AS.

Kabinet Wilopo

(19 Maret 1952 – 2 Juni 1953). Adanya konflik AD “peristiwa 17 Oktober 1952”, dan peristiwa Tanjung Morawa menghambat kinerja kabinet.

Kabinet Ali I

(31 Juli 1953 – 24 Juli 1955). Hasil kerja: suksesnya KAA, masih berlanjutnya konflik AD dengan mundurnya A.H. Nasution.
Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955 - 3 Maret 1956). Hasl kerja: pemilu 1955, dibubarkan Uni Indonesia-Belanda, mengangkat kembali A.H. Nasution sebagai KSAD 28 Oktober 1955.

Kabinet Ali II

(24 Maret 1956 – 14 Maret 1957).
Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959). Hasil kerja: pembentukan dewan nasional untuk menampung aspirasi rakyat, konsolidasi daerah-daerah pemberontak, pembersihan korupsi, aturan kelautan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

Kegagalan konstituate menyusun UU baru

20 November 1956 sidang I, Presiden Sukarno memberi kewenangan untuk menyusun UUD.
Konstituate menghadapi tantangan untuk bersatu merumuskan UUD baru. Terutama konflik NU-PKI-PNI menyangkut pemberlakuan kembali UUD’45 dan pemasukan kembali butir Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” dalam preambule UUD’45. Maka, diadakan sidang untuk menjawab masalah itu. Sidang 29 Mei 1959, 30 Mei 1959, 2 Juni 1959 berturut-turut tidak mencapai kuorum. Maka, 3 Juni 1959 Konstituate reses.

Kehidupan ekonomi Indonesia masa Demokrasi Parlementer

Pada masa cabinet Sukiman, ada nasionalisasi ekonomi: nasionalisasi de Javasche Bank menjadi BI sebagai bank sentral (UU No. 11 / 1953), pembentukan BNI Perpu No. 2 / 1946 (5 Juli 1946), pemberlakuan ORI 1 Oktober 1946 (UU No. 17 / 1946).
Perubahan ekonomi juga terlihat pada masa kabinet Ali II dengan penandatanganan UU pembatalan KMB oleh Presiden Sukarno 3 Mei 1956 berakibat berpindahnya asset-aset milik pengusaha Belanda ke pengusaha pribumi.

Kehidupan politik Indonesia masa Demokrasi Terpimpin

Puncak kebuntuan Konstituate adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Pembubaran konstituate, berlakunya kembali UUD’45, pembentukan MPRS dan DPAS. Ini menandai pergantian Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Presidensial.
Bidang politik
Tindak lanjut Dekrit Presiden, 10 Juli 1959 dibentuk Kabinet Kerja. Memakai sistem kabinet Presidensial, Ir Sukarno sebagai PM.
Dalam Demokrasi Terpimpin, semua lembaga harus berasal dari aliran NASAKOM.
Presiden Sukarno juga membentuk DPA, Front Nasional (Penpres No. 13 tahun 1959), DEPERNAS. Dalam sidang DPA September 1959, DPA mengusulkan agar pidato pertanggungjawaban Presiden 17 Agustus 1959 sebelumnya atas Dekrit Presiden dijadikan GBHN dengan nama MANIPOL. Usul DPA diterima Presiden. 24 Juni 1960, DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dan diganti DPR-GR. Pada upacara pelantikan anggota DPR-GR 25 Juni 1960, Ir Sukarno menegaskan tugas DPR-GR adalah melaksanakan MANIPOL, melaksanakan Demokrasi Terpimpin, merealisasi AMPERA.
Penpres No.2 tahun 1959 menetapkan bahwa anggota MPRS ditunjuk Presiden. Kalangan partai yang tidak setuju atas pembubaran DPR bergabung dalam Liga Demokrasi.

Kehidupan Ekonomi Indonesia masa Demokrasi Terpimpin

Kebijakan ekonomi terpimpin berubah menjadi “Sistem Lisensi”. Maka, 23 Maret 1963, Presiden Sukarno mengumumkan DEKON.
Pada masa kabinet Djuanda, pemerintah membuat UU pembentukan badan Dewan Perancang Nasional pimpinan Moh Yamin. Tugas badan ini ditetapkan dalam UU No. 80 / 1958: mempersiapkan rancangan UU Pembangunan Nasional Indonesia Berencana Dan Bertahap. Setelah kerja keras, 26 Juli 1960, badan ini mengeluarkan UU Pembangunan Nasional Indoensia Berencana Tahapan 1961-1969.
Tahun 1959, Indonesia mengalami inflasi tinggi. Pemerintah bereaksi dengan mengeluarkan kebijakan: mengurangi jumlah uang yang beredar dalam negeri (Perpu No. 2
/ 1959), pembekuan simpanan uang-uang di bank-bank Indonesia. Terjadinya krisis likuiditas membuat pemerintah membentuk PPOK, pengetatan APBN. Kondisi membaik kemudian mulai memburuk kembali dengan meningginya jumlah uang yang beredar. Proyek mercusuar Ganefo turut menghambat pembangunan moneter Indonesia.
Tahun 1963, Badan Perancang Nasional menjadi Bappenas dipimpin Ir Sukarno. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan: pendirian Bank Tunggal Negara sebagai wadah sirkulasi antar-bank (Penpres No. 7 / 1965), pengeluaran rupiah baru yang nilainya 10 X rupiah lama (Penpres No. 27 / 1965). Adanya tumpang tindih antara kebijakan perekonomian yang dikeluarkan Presiden-Pemerintah berujung pada mundurnya perekonomian Indonesia hingga tahun 1966.


BAB IV
UPAYA BANGSA INDONESIA DALAM MEMPERTAHANKAN PERSATUAN DAN KESATUAN

A.       Gejolak Sosial di Berbagai Daerah Pada Awal Kemerdekaan Hingga Tahun 1965

  • Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terjadi di empat daerah, yaitu :
  1. DI/TII Jawa Barat
Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.

  1. DI/TII Jawa Tengah
Gerakan DI/TII juga menyebar ke Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai komandan pertemburan Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudz Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders.

  1. DI/TII Aceh
Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah, pertentangan antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh. Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang pada tanggal 20 September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Pemberontakan DI/TII di Aceh diselesaikan dengan kombonasi operasi militer dan musyawarah. Hasil nyata dari musyawarah tersebut ialah pulihnya kembali keamanan di daerah Aceh.

  1. DI/TII Sulawesi Selatan
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.

  • Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun 1948
Amir Syarifuddin mengecam hasil Perjanjian Renville dan menyusun kekuatan dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dibentuk pada tanggal 26 Februari 1948 di Surakarta, Front ini menyatukan semua golongan sosialis kiri dan komunis. Kekuatan PKI makin bertambah besar setelah kedatangan Musso dari Uni Soviet. Muso menyusun doktrin PKI dengan nama Jalan Baru dengan dibentuknya Front Nasional, yaitu penggabungan segala kekuatan sosial, politik, dan perorangan yang berjiwa antiimperialistis dan untuk menjamin kelangsungan Front Nasional maka dibentuklah Kabinet Front Nasional yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis, dan Partai Buruh Indonesia. Selain itu, didukung pula oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Insiden di Delanggu menjadi insiden bersenjata di kota Surakarta antara pendukung Front Demokrasi Rakyat dengan kelompok Tan Malaka yang bergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat, maupun dengan pasukan hijrah TNI. Insiden-insiden memang telah direncanakan oleh PKI yang bertujuan daerah Surakarta dijadikan daerah kacau ( wild west), sedangkan daerah Madiun dijadikan basis gerilya. Aksi PKI memuncak pada tanggal 18 September 1948 dengan ditandai para tokoh PKI mengumumkan berdirinya Soviet Republik Indonesia. Tindakan itu bertujuan untuk meruntuhkan Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan ajaran komunis. Panglima Besar Jenderal Soedirman langsung mengeluarkan perintah untuk merebut Madiun kembali. Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto dari Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono dari Jawa Timur untuk memimpin penumpasan terhadap kaum pemberontak. Musso akhirnya tertembak mati, dan Amir Syarifuddin berhasil ditangkap dihutan Ngrambe, Grobogan, Purwodadi dan kemudian dihukum mati di Yogyakarta. Pemberontakan PKI di Madiun telah berhasil ditumpas, namun bangsa Indonesia masih harus menghadapi Belanda yang berusaha menegakkan kembali Pemerintahannya di Indonesia.

  • Pembeontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) tanggal 23 Januari 1950
Pada bulan Januari 1950 di Jawa Barat di kalangan KNIL timbul Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Tujuan APRA adalah mempertahankan bentuk Negara Federal Pasundan di Indonesia dan mempertahankan adanya tentara sendiri pada setiap negara bagian Republik Indonesia Serikat. APRA mengajukan ultimatum menuntut supaya APRA diakui sebagai Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara Federal tersebut. Ultimatum ini tidak ditanggapi oleh pemerintah, maka pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung APRA melancarkan teror, APRA berhasil ditumpas. Ternyata dalang gerakan APRA ini berada di Jakarta, yakni Sultan Hamid II. Rencana gerakannya di Jakarta ialah menangkap beberapa menteri Republik Indonesia Serikat yang sedang menghadiri sidang kabinet dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekertaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepada Staf Angkatan Perang Kolonel T.B Simatupang. Rencana tersebut berhasil diketahui dan diambil tindakan preventif, sehingga sidang kabinet ditunda. Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950. Akan tetapi, Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri.
  • Pemberontakan Andi Azis di Makasar
Adapun faktor yang menyebabkan pemberontakan adalah :
  1. Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur.
  2. Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI
  3. Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.
Karena tindakan Andi Azis tersebut maka pemerintah pusat bertindak tegas. Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian disusul oleh pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang pada tanggal 26 April 1950 dengan kekuatan dua brigade dan satu batalion di antaranya adalah Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

  • Pemberontakan Republik Maluku (25 April 1950)
Pada tanggal 25 April 1950 di Ambon diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) yang dilakukan oleh Dr. Ch. R. S. Soumokil mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Soumokil sebenarnya terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Namun, setelah gagalnya gerakan itu ia melarikan diri ke Maluku Tengah dengan Ambon sebagai pusat kegiatannya. Untuk itu pemerintah mengutus Dr. Leimena untuk mengajak berunding. Misi Leimena tidak berhasil karena RMS menolak untuk berunding. Pemerintah bertindak tegas, pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel A. E. Kawilarang dikirimkan ke Ambon. Dalam pertempuran memperebutkan benteng New Victoria, Letkol Slamet Riyadi tertembak dan gugur. Pada tanggal 28 September 1950 pasukan ekspedisi mendarat di Ambon dan bagian utara pulau itu berhasil dikuasai. Tanggal 2 Desember 1963 Dr. Soumokil berhasil ditangkap selanjutnya tanggal 21 April 1964 diadili oleh Mahkamah Militer Laut Luar Biasa dan dijatuhi hukuman mati.

  • Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta)
Pemberontakan PRRI/Permesta didahului dengan pembentukan dewan-dewan di beberapa daerah di Sumatera, antara lain Dewan Banteng di Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad Husein (20 Desember 1956) ; Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (22 Desember 1956) dan Dewan Manguni di Manado oleh Letnan Kolonel Ventje Sumuai (18 Februari 1957). Tanggal 10 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.
Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
  1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.
  2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.
  3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.
  4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo.
  5. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :
  • Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono.
  • Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono.
  • Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda.
  • Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat

B.   Peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI

Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Latar belakang
PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
ANGKATAN KE LIMA
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S/PKI. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden – sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S/PKI.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan “kepentingan bersama” polisi dan “rakyat”. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan “Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi”. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari “sikap-sikap sektarian” kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat “massa tentara” subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis “rakyat”.
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang “perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis”.
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian “angkatan kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.
Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa “NASAKOMisasi” angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan “angkatan kelima”. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.
Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan “Ganyang Malaysia” kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng”ganyang Malaysia” ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah keinginannya meng”ganyang Malaysia”.
“ Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka. ”
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan “ganyang Malaysia” yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu “giliran PKI akan tiba. “Soekarno berkata, “Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. … Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang.”[2]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor Amerika Serikat
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan “ganyang Malaysia” yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya. Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Lubang Buaya
Peristiwa
Pada 30 September 1965, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dokumen Gilchrist. Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya “Teman Tentara Lokal Kita” yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk “ditindaklanjuti”. Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku “Indonesian Upheaval”, yang dijadikan basis skenario film “The Year of Living Dangerously”, ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
* Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
* Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
* Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
* Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
* Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
* Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
* Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
* Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
* Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para “pemberontak” dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan “persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”.
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: “Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik…Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan…Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam.”
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
“ Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!”
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.”
Asumsi Penangkapan dan pembunuhan
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”.
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah “Time” memberitakan:
“Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.”
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis “anti-Tionghoa” terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Supersemar, Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil “langkah-langkah yang sesuai” untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September – 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk “Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965″ ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasuke, dan Putmainah.



 
BAB V
INDONESIA PADA MASA ORDE BARU

Latar Belakang Lahirnya Orde Baru
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Masa Jabatan Presiden Soeharto
Pada 1968MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 19731978,198319881993, dan 1998.

Kehidupan Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timursering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan BaratDPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan GolkarTNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

PEMILIHAN UMUM ORDE BARU (1977-1997)

 

Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut denganPemilu Orde Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Berikut adalah tanggal-tanggal diadakannya pemungutan suara pada Pemilu periode ini.
1. 2 Mei 1977
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1977 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei 1977 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1977-1982.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

1.    4 Mei 1982

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1982 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1982-1987.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

2.    23 April 1987

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1987 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 23 April 1987 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1987-1992.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

4. 9 Juni 1992

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1992 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 Juni 1992 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1992-1997.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

5. 29 Mei 1997

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1997 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 29 Mei 1997 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1997-2002. Pemilihan Umum ini merupakan yang terakhir kali diselenggarakan pada masa Orde Baru.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya. Pemilu ini diwarnai oleh aksi golput oleh Megawati Soekarnoputri, yang tersingkir sebagai Ketua Umum PDI yang tidak diakui rezim pemerintah waktu itu.

Eksploitasi Sumber Daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparandikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti JawaBali dan Madura ke luar Jawa, terutama keKalimantanSulawesiTimor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Kelebihan Sistem Pemerintahan Orde Baru
§  Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
§  Sukses transmigrasi
§  Sukses KB
§  Sukses memerangi buta huruf
§  Sukses swasembada pangan
§  Pengangguran minimum
§  Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
§  Sukses Gerakan Wajib Belajar
§  Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
§  Sukses keamanan dalam negeri
§  Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
§  Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
§  Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
§  Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
§  Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
§  Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
§  Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
§  Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
§  Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
§  Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
§  Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
§  Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
§  Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
§  Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibut berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.

Berakhirnya Orde Baru; Krisis Ekonomi dan Gerakan Reformasi
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

HARI-HARI TERAKHIR MENJELANG JATUHNYA SOEHARTO
§  22 Januari 1998
§  Rupiah tembus 17.000,- per dolar ASIMF tidak menunjukkan rencana bantuannya.
§  12 Februari
§  Soeharto menunjuk Wiranto, menjadi Panglima Angkatan Bersenjata.
§  5 Maret
§  Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima Fraksi ABRI
§  10 Maret
§  Soeharto terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kali dengan menggandeng B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden.
§  14 Maret
§  Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VIIBob Hasan dan anak Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, terpilih menjadi menteri.
§  15 April
§  Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena sepanjang bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan berunjuk rasa menuntut dilakukannya reformasi politik
§  18 April
§  Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog tersebut.
§  1 Mei
§  Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.
§  2 Mei
§  Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi bisa dilakukan sejak sekarang (1998).
§  Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi disikapi dengan represif oleh aparat. Di beberapa kampus terjadi bentrokan.

§  4 Mei
§  Harga BBM melonjak tajam hingga 71%, disusul tiga hari kerusuhan di Medan dengan korban sedikitnya 6 meninggal.
§  7 Mei
§  Peristiwa Cimanggis, bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan terjadi di kampus Fakultas Teknik Universitas JayabayaCimanggis, yang mengakibatkan sedikitnya 52 mahasiswa dibawa ke RS Tugu Ibu, Cimanggis. Dua di antaranya terkena tembakan di leher dan lengan kanan, sedangkan sisanya cedera akibat pentungan rotan dan mengalami iritasi mata akibat gas air mata.
§  8 Mei
§  Peristiwa Gejayan, 1 mahasiswa Yogyakarta tewas terbunuh.
§  9 Mei
§  Soeharto berangkat seminggu ke Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT G-15. Ini merupakan lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.
§  12 Mei
§  Tragedi Trisakti, 4 mahasiswa Trisakti terbunuh.
§  13 Mei
§  Kerusuhan Mei 1998 pecah di Jakarta. kerusuhan juga terjadi di kota Solo.
§  Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan negara-negara berkembang G-15 diKairoMesir, memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sebelumnya, dalam pertemuan tatap muka dengan masyarakat Indonesia di Kairo, Soeharto menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
§  Etnis Tionghoa mulai eksodus meninggalkan Indonesia.
§  14 Mei
§  Demonstrasi terus bertambah besar hampir di semua kota di Indonesia, demonstran mengepung dan menduduki gedung-gedung DPRD di daerah.
§  Soeharto, seperti dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo.
§  Kerusuhan di Jakarta berlanjut, ratusan orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.
§  15 Mei
§  Selesai mengikuti KTT G-15, tanggal 15 Mei l998, Presiden Soeharto kembali ke tanah air dan mendarat di lapangan Bandar Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta, subuh dini hari. Menjelang siang hari, Presiden Soeharto menerima Wakil Presiden B.J. Habibie dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya.
§  17 Me
§  Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya, Abdul Latief melakukan langkah mengejutkan pada Minggu, 17 Mei 1998. Ia mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Soeharto dengan alasan masalah keluarga, terutama desakan anak-anaknya.
§  18 Mei
§  Pukul 15.20 WIB, Ketua MPR yang juga ketua Partai GolkarHarmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan MetareumSyarwan HamidAbdul Gafur, dan Fatimah Achmad.
§  Pukul 21.30 WIB, empat orang menko (Menteri Koordinator) diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan perkembangan. Mereka juga berniat menggunakan kesempatan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle. Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu "malu". Namun, niat itu tampaknya sudah diketahui oleh Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan, "Urusan kabinet adalah urusan saya." Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.
§  Pukul 23.00 WIB Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif. Wiranto mengusulkan pembentukan "Dewan Reformasi".
Gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ dan Forum Kota memasuki halaman dan menginap di Gedung DPR/MPR. Mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR

§  19 Mei
§  Pukul 09.00-11.32 WIB, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza MahendraKH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), sertaAchmad Bagdja dan Ma'ruf Amin dari NU. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam (molor dari rencana semula yang hanya 30 menit) itu para tokoh membeberkan situasi terakhir, dimana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur. Soeharto lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi
§  Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Nurcholish sore hari mengungkapkan bahwa gagasan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi itu murni dari Soeharto, dan bukan usulan mereka.
§  Pukul 16.30 WIB, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita bersama Menperindag Mohamad Hasan melaporkan kepada Presiden soal kerusakan jaringan distribusi ekonomi akibat aksi penjarahan dan pembakaran. Bersama mereka juga ikut Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng yang akan melaporkan soal rencana penjualan saham BUMN yang beberapa peminatnya menyatakan mundur. Pada saat itu, Menko Ekuin juga menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi; Emil SalimSoebrotoArifin SiregarMoh Sadli, dan Frans Seda, atas rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi dan me-reshuffle kabinet. Mereka intinya menyebut, tindakan itu mengulur-ulur waktu.
§  Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Jakarta.
§  Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
§  Dilaporkan bentrokan terjadi dalam demonstrasi di Universitas AirlanggaSurabaya.
§  20 Mei
§  Amien Rais membatalkan rencana demonstrasi besar-besaran di Monas, setelah 80.000 tentara bersiaga di kawasan Monas.
§  500.000 orang berdemonstrasi di Yogyakarta, termasuk Sultan Hamengkubuwono X. Demonstrasi besar lainnya juga terjadi di Surakarta, Medan, Bandung.
§  Harmoko mengatakan Soeharto sebaiknya mengundurkan diri pada Jumat, 22 Mei, atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru
§  Pukul 14.30 WIB, 14 menteri bidang ekuin mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas. Dua menteri lain, yakni Mohamad Hasan dan Menkeu Fuad Bawazier tidak hadir. Mereka sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi, ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle. Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan menyampaikannya lewat sepucuk surat. Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta agar Soeharto mundur dari jabatannya. Perasaan ditinggalkan, terpukul, telah membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mundur. Ke-14 menteri itu adalah Akbar TandjungAM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri SusenoHaryanto DhanutirtoJustika BaharsjahKuntoro MangkusubrotoRachmadi Bambang SumadhijoRahardi RamelanSubiakto TjakrawerdayaSanyoto SastrowardoyoSumahadiTheo L. Sambuaga dan Tanri Abeng.
§  Pukul 20.00 WIB, surat itu kemudian disampaikan kepada Kolonel Sumardjono. Surat itu kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto.
§  Soeharto kemudian bertemu dengan tiga mantan Wakil Presiden; Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno.
§  Pukul 23.00 WIB, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie.
§  Wiranto sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan Soeharto. Wiranto perlu berbicara dengan para Kepala Staf Angkatan mengenai sikap yang akan diputuskan ABRI dalam menanggapi keputusan Soeharto untuk mundur. Setelah mencapai kesepakatan dengan Wiranto, Soeharto kemudian memanggil Habibie.
§  Pukul 23.20 WIB, Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan Amien Rais. Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatannya. kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned". Yusril juga menginformasikan bahwa pengumumannya akan dilakukan Soeharto 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB. Kabar itu lalu disampaikan juga kepada Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Utomo Danandjaya, Syafii Ma'arif, Djohan Effendi, H Amidhan, dan yang lainnya. Lalu mereka segera mengadakan pertemuan di markas para tokoh reformasi damai di Jalan Indramayu 14 Jakarta Pusat, yang merupakan rumah dinas Dirjen Pembinaan Lembaga Islam, Departemen Agama, Malik Fadjar. Di sana Cak Nur - panggilan akrab Nurcholish Madjid - menyusun ketentuan-ketentuan yang harus disampaikan kepada pemerintahan baru.
§  21 MEI
§  Pukul 01.30 WIB, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Amien Rais dan cendekiawan Nurcholish Madjid (almarhum) pagi dini hari menyatakan, "Selamat tinggal pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru".
§  Pukul 9.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB. Soeharto kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat dan meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto(kemudian menjadi Kepala Polri). Mercedes hitam yang ditumpanginya tak lagi bernomor polisi B-1, tetapi B 2044 AR.
§  Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
§  Jenderal Wiranto mengatakan ABRI akan tetap melindungi presiden dan mantan-mantan presiden, "ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan presiden/mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto beserta keluarga."
§  Terjadi perdebatan tentang proses transisi ini. Yusril Ihza Mahendra, salah satu yang pertama mengatakan bahwa proses pengalihan kekuasaan adalah sah dan konstitusional.
§  22 MEI
§  Habibie mengumumkan susunan "Kabinet Reformasi".
§  Letjen Prabowo Subiyanto dicopot dari jabatan Panglima Kostrad.
§  Di Gedung DPR/MPR, bentrokan hampir terjadi antara pendukung Habibie yang memakai simbol-simbol dan atribut keagamaan dengan mahasiswa yang masih bertahan di Gedung DPR/MPR. Mahasiswa menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian dari Rezim Orde Baru. Tentara mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR ke Universitas Atma Jaya.
BAB VI

INDONESIA PADA MASA REFORMASI



A. BERAKHIRNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU


Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakuisebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia.Di tambah dengan meningkatnya sarana danprasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi denganpembangunan mental ( character building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamananmaupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan tahun 1997,korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa) 1. Faktor Penyebab Munculnya ReformasiBanyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutamaterletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awalkemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dankonsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Setelah Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan, munculsuatu keinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaannya atau status quo. Hal inimenimbulkan akses-akses nagatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut.Akhirnyapenyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat padaUUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. 2. Krisi PolitikDemokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahanpolitik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang oleh para penguasa.Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa Kedaulatan adalahditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum)kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara defacto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggotaMPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah,DPR, dan MPR.Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakanreformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR damMPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN. Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadaplima paket undang-undangpolitik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya :

UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum

UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR

UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum

UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa. Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpanganekonomi yang lebih besar.Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempumenghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia.Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu padatanggal 27 Juli 1996.Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal PartaiDemokrasi Indonesia (PDI).Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupanmasyarakat, maupun pemerintahan Indonesia.Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihakoposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yangmenentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah.Selain itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa jabatanPresiden.Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu munculnyakerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda.Menjelang akhir kampanye pemilihanumum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak.Golkar yangmeraih kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presidendalam Sidang Umum MPR tahun 1998  2003.Sedangkan di kalangan masyarakat yang dimotori olehpara mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soehartosebagai Presiden.Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai PresidenRepublik Indonesia dan BJ.Habibie sebagai Wakil Presiden.Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari para mahasiswa dankalangan intelektual.  3. Krisi HukumPelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan.Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukumjuga menjadi salah satu tuntutannya.Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agardapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya. 4. Krisi EkonomiKrisi moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, jugamempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia.EkonomiIndonesia ternyata belum mampu untukmenghadapi krisi global tersebut.Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiahterhadap dollar Amerika Serikat.Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomiIndonesia menjadi 0%dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu.Kondisi moneter Indonesia mengalamiketerpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997.Sementara itu untukmembantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional(KLBI).Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjamanbank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telahmenghancurkan keuangan nasional.Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomiyang lainnya.Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilanbahan pokok sembako di pasaran mulai menipis.Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidakterkendali.Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat.Untuk mengatasi kesulitanmoneter, pemerintah meminta bantuan IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkanoleh pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF.Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesiatidak terlepas dari masalahutang luar negeri. 
Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebabmunculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesiatidak sepenuhnya merupakan utangNegara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta.Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliardollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadapIndonesia semakinmenipis.Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidaksehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet. 
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan NegaraRepublik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat.Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauhmenyimpang dari sistem perekonomian Pancasila.Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasardemokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikananggota-anggota masyarakat.Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahanOrde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentukmonopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi. Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Barubersifat sentralistis.Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupanberbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi.Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat.Hal ini menimbulkan ketidakpuasanpemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat.Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat daripola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasaladari Jakarta selalu menjadi berita utama.Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannyadengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalammerebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah. 5. Krisi KepercayaanDemontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintahmengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998.Puncak aksi paramahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta.Aksi mahasiswa yang semula damaiitu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu ElangMulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus danmasyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidakmerakyat.

Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkandiri semakin banyak disampaikan.Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan parapimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal digedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan paramahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinanDPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta.Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukanperubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagaiPresiden.Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidakdapat dilakukan.Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhentisebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden RepublikIndonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai PresidenRepublik Indonesia yang baru di Istana Negara.

B. PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI PADA MASA REFORMASI

 1. Munculnya Gerakan ReformasiReformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatananperikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan.Gerakan reformasi, pada tahun1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikandalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.Buah perjuangan dari reformasi itu tidak dapat dipetik dalam waktu yang singkat, namunmembutuhkan proses dan waktu.Masalah yang sangat mendesak, adalah upaya untuk mengatasi kesulitan masyarakat banyaktentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga yang terjangkau oleh rakyat.Sementara itu, melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidakterkendali, rakyat menjadi semakin kritis menyatakan pemerintah Orde Baru tidak berhasil menciptakankehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera. Oleh karena itu, munculnya gerakan reformasibertujuan untuk memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa anatara lain sebagai berikut :

Adili Soeharto dan kroni-kroninya.

Amandemen UUD 1945

Penghapusan Dwi Fungsi ABRI

Otonomi daerah yang seluas-luasnya

Supremasi hukum

Pemerintahan yang berisi dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). 2. Kronologi ReformasiPada awal bulan Maret 1998 melalui Sidang Umum MPR, Soeharto terpilih kembali menjadiPresiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan Kabinet Pembangunan VII.Namun pada saat itu semakin tidak kunjung membaik.Perekonomian mengalami kemerosotan dan masalah sosial semakinmenumpuk.Kondisi dan siutasi seperti ini mengundang keprihatinan rakyat.Mamasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelardemostrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunya Soeharto dari kursi kepresidenannya.Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti, terjadibentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembaknya empat mahasiswa hingga tewas.Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dansekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR.Pada tanggal itu pula di Yogyakarta terjadi peristiwabersejarah.Kurang lebih sejuta umat manusia berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta untukmndengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Bowono X dan Sri Paku Alam VII.Inti isi dari maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untukdimintai pertimbangannya membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto,namun mengalami kegagalan.Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden Soehartimeletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota dari MahkamahAgung.Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden, sertapelantikannya dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya.Maka sejak saat itu,Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3.

C. PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998
 1. Pengangkatan Habibie Menjadi Presiden Republik IndonesiaSetelah B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998.Tugas Habibie menjadi Presiden menggantikan Presiden Soeharto sangatlah berat yaitu berusahauntuk mengatasi krisis ekonomi yang melandaIndonesia sejak pertengahan tahun 1997.Habibie yang manjabat sebagai presiden menghadapi keberadaanIndonesia yang serba parah,baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya.Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalahberusaha untuk dapat mengatasi krisis ekonomi dan politik.Untuk menjalankan pemerintahan, PresidenHabibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri darikabinetnya.Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentukkabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri,dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukanperbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk meperbaikiperekonomian Indonesia anataranya :
a.    Merekapitulasi perbankan
b.    Merekonstruksi perekonomian Indonesia
c.    Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
d.    Manaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,-
e.    Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF. 
Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mangupayakanpelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan  pelaksanaan pemilihanumum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakandi bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis.Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang ditahan pada zaman pemerintahanSoeharto.Kemudian, Presiden Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruhindependent. 2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di mukaumum.Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baikdalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasi.Namun khusus demontrasi, setiaporganisasi atau lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihakkepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut.Hal ini dilakukan karena pihakkepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia.Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering menggunakan pasalyang berbeda-beda.Pelaku unjuk rasa yang di tindak dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumikarena untuk menangani penunjuk rasa belum ada aturan hukum jelas.Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintahan bersama (DPR)berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang unjuk rasa ataudemonstrasi.adalah UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di MukaUmum.Adanya undang  undang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memulai pelaksanaan sistemdemokrasi yang sesungguhnya.Namun sayangnya, undang-undang itu belum memasyarakat atau belumdisosialisasikan dalam kehidupan masarakat.Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu tuntutan, dan koreksi tentang suatuhal. 3. Masalah Dwifungsi ABRIMenanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul turunnya Soehartodari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah pembaharuan dalam perannya di bidangsosial-politik.Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secarabertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain yang di tempuh adalah ABRI semula terdiridari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi KepolisianNegara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, danAngkatan Udara. 4. Reformasi Bidang HukumPada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum Reformasihukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat.Tindakan yang dilakukan olehPresiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalanganmasyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yangditambakan oleh masyarakat.Ketika dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai produksi hukum atau undang-undang yangdibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak.Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoksmaupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap kelompok-kelompok sosialmaupun individu didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bias dikatakan tidak ada sama sekali.Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untukdapat menjamin atau memberikan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnyademokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat. 5. Sidang Istimewa MPRDalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi Negaramelaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar Sidang Istimewa MPRS yang kemudianmemberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia.Kemudian Sidang Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10  13 Nopember 1998 diharapkan MPRbenar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan yang lebih segar, lebih terbuka dandapat menampung, aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat.Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12 Ketetapan. 6. Pemilihan Umum Tahun 1999Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihanumum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesiayang sedang dilandamultikrisis.Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalammenunjukkan kehidupan berdemokrasi.Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum,bebas, rahasia, jujur, dan adil.Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaanpemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang tentang politik dicabut. Sebagaigantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru.Ketiga udang-undang itu disahkanpada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga udang-udang itu antaralain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD.Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnyakehidupan politik di Indonesia.Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai politikbermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada masaitu.Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihanumum.Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik diberlakukan dengan cukup ketat.Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh sebuah lembaga yangbernama Komisi PemilihanUmum (KPU).Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partaipolitik peserta pemilihan umum.Banyak pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum tahun 1999 akan terjadi kerusuhan,namun pada kenyataannya pemilihan umum berjalan dengan lancar dan aman. Setelah penghitungansuara berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasilmeraih suara-suara terbanyak di anataranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuanpembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional.Hasil pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil perolehan suara daripartai-partai politik berjalan dengan aman dan dapat di terima oleh suara partai peserta pemilihan umum.
7. Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR, maka MPRsegera melaksanakan sidang.Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1  21 Oktober 1999.DalamSidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi KetuaDPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolakoleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suaratidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan dirimenjadi Presiden Republik Indonesia.Akibatnya memunculkan tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPRpada tahap pencalonan Presiden diantaranya AbdurrahmanWahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri,dan Yuhsril Ihza Mahendra.Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkandiri.Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, AbdurrahamanWahid danMegawati Soekarnoputri.Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secaravoting, Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia.Pada tanggal 21 Oktober 1999dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan HamzahHaz. PemilihanWakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri.Kemudian padatanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputriberhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidaksampai pada akhir masa jabatanya.Akibat munculya ketidakpercayaan parlemen pada PresidenAbdurrahman Wahid, maka kekuasaanAbdurrahman Wahid berakhir pada tahun 2001.DPR/MPRkemudian memilih dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia danHamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia.Masa kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004.Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting dalam sejarahpemerintahan Republik Indonesia.Untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presidendilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia.Pada pemilihan umum ini Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai Wakil PresidenRepublikIndonesia untuk masa jabatan 2004-2009.
D. KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT SEJAK REFORMASI
 1. Kondisi Sosial Masyarakat Sejak ReformasiSejak krisis moneter yang melan da pada pertengahan tahgun 1997, perusahaan perusahaanswasta mengalami kerugaian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitanmemenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya.Keadaan seperti ini menjadi masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaanmengalami kerugaian yang cukup besar dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutanpara pekerja untuk menaikkan gaji sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyakperusahaan yang mengambil tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK.Para pekerja yang deberhentikan itu menambah jumlah pengangguran, sehingga jumlahpengangguran diperkirakan mencapai 40 juta orang. Pengangguran dalam jumlah yang sangat besar iniakan menimbulkan terjadinya masalah masalah social dalam kehidupan masyarakat. Dampak susulan daripengangguran adalah makin maraknya tindakan tindakan criminal yang terjadi dalam kehidupanmasyarakat.Oleh karena itu hendaknya pemerintah dengan serius menangani masalah penganggurandengan membuka lapangan kerja yang dapat menampung para penganggur tersebut.Langkahberikutnya, pemerintah hendaknya dapat menarik kembali para investor untuk menanamkan modalnyadi Indonesia, sehingga dapat membuka lapangan kerja baru untuk menampung para penganggurtersebut.Masalah pengangguran merupakan masalah social dalam kehidupan masyarakat dan sangat peka terhadap segala bentuk pengaruh. 2. Kondisi Ekonomi Masyarakat IndonesiaSejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomiIndonesia mulaimengalami keterpurukan.Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat makinmenurun.Pengangguran juga semakin luas.Sebagai akibatnya, petumbuhan ekonomi menjadi sangat terbatas dan pendapatan perkapita cenderung memburuk sejak krisis tahun 1997.
 
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat, pemerintah melihat lima sectorkebijakan yang harus digarap, yaitu :
a.    perluasan lapangan kerja secara terus menrus melalui investasi dalam dan luar negeri se efisienmungkin.
b.    Penyediaan barang kebutuhan pokok sehari hari untuk memenuhi permintaan pada harga yangterjangkau.
c.    Penyediaan failitas umum seperti rumah, air minum, listrik, bahan baker, komunikasi, angkutan denganharga terjangkau.
d.    Penyediaan ruang sekolah, guru dan buku buku untuk pendidikan umum dengan harga terjangkau.
e.    Penyediaan klinik, dokter dan obat onbatan untuk kesehatan umum dengan harga yang terjangkaupula.
Disamping penanganan masalah pengangguran,dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomimasyarakat, pemerintah hendaknya juga memperhatikan harga harga produk pertanian Indonesia,karena selama masa pemerintahan Orde Baru maupun sejak krisis 1997 tidak pernah berpihak kepadapetani. Apabila pendapatan petani meningkat, maka permintaan petani terhadap barang barang nonpertanian juga meningkat. Dengan ditetapkannya harga produk pertanian yang tidak merugikan petani,maka para petani yang mampu membeli produk industri non pertanian akan memberi semangat bangkitnya para pengusaha untuk mengembangkan kegiatan perusahaannya.Pihak pemerintah telah berusaha untuk membawa Indonesia keluar dari krisis.Tetapi tidakmungkin dapat dilakukan dalam waktu yang singkat.Oleh karena itu, pemerintah membuat skala prioritasyang artinya hal mana yang hendaknya dilakukan agar Indonesia keluar dari krisis.Terpilihnya presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri  yang naikmenggantikan Gus Dur bertugas untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat denganmeningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Namun dengan kondisi perekonomian Negara yangditinggalkan oleh pemerintahan Soeharto, tidak mungkin dapat diatasi oleh seorang Presiden dalamwaktu singkat.Oleh sebab itu untuk mengatasi krisis, presiden sebagai pemegang kekuasaanpemerintahan Republik Indonesia, memerlukan penyelesaian secara bertahap berdasarkan skala prioritas.