Kehidupan Saya selama di SMA Labschool




Nama saya Andri Wulan Karindra, dan saat ini saya duduk di bangku kelas XII IPA SMA Labschool Kebayoran. Dalam esai ini, saya akan bercerita semua pengalaman saya di SMA Labschool Kebayoran, dari Masa Orientasi Sekolah sampai akhirnya saya duduk di bangku kelas XII dan suka duka saya selam bersekolah di sana, walau saya akui saya lebih banyak mengalami duka.
Ketika saya masih duduk di bangku SMP, baik orangtua maupun guru banyak berceloteh tentang pendidikan lanjutan setelah SMP. Apalagi ketika saya sudah kelas 3 atau kelas 9, setiap hari diceramahi tentang pentingnya belajar agar nilai UAN nya memenuhi syarat SMP negeri yang ingin dimasuki sampai saya muak dan pusing. Walau begitu, seperti teman-teman saya yang lain, awalnya saya berniat untuk memasuki SMA negeri. Namun ketika SMA Labschool mengadakan tes masuk untuk Penerimaan Siswa Baru, saya mengikuti tes tersebut dan untunglah saya diterima. Karena saya adalah pemalas kelas kakap dan berniat untuk tidak belajar untuk mengahadapi UAN, saya langsung menjawab panggilan SMA Labschool dan menjadi calon murid yang haknya hanya bisa terambil jika saya tidak lulus SMP. Alhamdulillah, saya lulus dari SMP Labschool Rawamangun dengan nilai yang tidak memalukan walau total nilai UAN saya membuktikan betapa malasnya saya.
Ketika liburan telah berakhir, saya mengikuti pengarahan Masa Orientasi Sekolah dengan perasaan malas dan gugup. Karena saya adalah alumni SMP Labschool, saya tahu benar tentang MOS ala Labschool yang selalu merepotkan dan melibatkan keterampilan tangan dalam menggunting, mengelem, dan menggambar untuk membuat Nametag yang susahnya minta ampun tapi tidak mempunyai manfaat apapun  selain untuk menunjukkan identitas diri dan kemudian dibuang setelah MOS berakhir (mungkin untuk yang sentimental disimpan sebagai kenang-kenangan. Bagi Saya? Bah! Mengingatkan pada kenangan buruk!).
Ketika pengarahan MOS, setelah kepala sekolah dan guru penanggung jawab MOS memperkenalkan diri akhirnya kakak OSIS mulai memegang kendali. Ketika MOS, atau acara murid lain, pengurus OSIS adalah penanggung jawab yang paling sering ditemui dan tentunya mereka tidak akan beramah-tamah dan bermanis ria kepada murid baru, si anak kelas sepuluh yang malang. Ekspresi muka mereka akan diset dengan ekspresi galak yang tak terlalu mengerikan tetapi membuat segan si murid baru, apalagi jika murid baru tersebut tidak berasal dari SMP Labschool melainkan SMP lain yang MOS nya tidak merepotkan. Hal yang berikutnya terjadi cukup mengejutkan, ketika ketua umum OSIS angkatan 7 Diwakara Balasena berbicara, yang saya lakukan beserta murid baru yang lain adalah tertawa. Sebab kak Eros, sebagai ketua, sangatlah humoris. Dia jelas mempunyai karisma sebagai ketua, hanya saja dia sangat kocak apalagi didukung bentuk tubuhnya yang cukup besar dan agak bulat, membuat saya agak tenang. Mungkin saja anggota OSIS yang lain juga sebaik beliau! Tetapi kemudian pendapat saya langsung hancur ketika kak Imo dari seksi kesenian maju ke depan untuk menjelaskan apa saja yang harus dibawa. Dia menjelaskan bahwa semua murid baru harus membuat nametag sesuai dengan gambar yang dibagikan ke setiap murid, menurut saya nametag MOS SMA saya tak sesulit nametag MOS SMP jadi saya menghela napas lega. Hanya saja ketika kak Imo mulai membacakan bekal makan siang yang harus-mesti-kudu dibawa pada hari pertama MOS saya hanya bisa melongo seperti sapi ompong. Nasi tanpa belas kasihan, sayur Halloween, dan beberapa kalimat-kalimat alien lain. Apa-apaan ini!? Saya harus memecahkan menu makan siang yang penuh teka-teki tersebut dan kemudian harus membelinya. Kalau menunya mudah sih tak masalah, tetapi saya ingat saya harus berputar-putar keliling Kebayoran untuk mencari bakpao yang ditato hijau. Merepotkan, amat sangat merepotkan.
Hari pertama Masa Orientasi Sekolah pun dimulai. Tentunya tak berjalan dengan damai, kami anak kelas sepuluh yang malang dan kebingungan sangat sering dimarahi dengan cara dibentak dan dimaki-maki. Apalagi kalau kami harus mengalami pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain, mereka semua akan berteriak layaknya vokalis death metal. Namun hal paling menyebalkan dalam MOS tentunya adalah acara makan siang. Bukannya bersantai sambil menikmati hidangan dari rumah, kami mengalami apa yang disebut dengan “Makan Komando”. Apakah pengertian dari “Makan Komando”? istilah tersebut dipakai untuk menjelaskan kegiatan di mana sekelompok orang melakukan makan siang dengan etiket layaknya di kerajaan Inggris akan tetapi makanan yang kami bawa harus habis dalam jangka waktu yang diberikan. Karena ketika SMP saya mengalami Makan Komando, saya membawa bekal dalam jumlah sedikit agar makanan dapat cepat dihabiskan. Dan saya tahu kalau seseorang sudah menghabisakan makanannya maka dia disunnahkan untuk membantu temannya yang tak mampu menelan bahkan sesuap nasi. Karena kapasitas perut saya besar dan saya mencintai makanan, maka saya dengan suka rela menghabiskan makanan teman-teman saya. Malah saya menyelamatkan teman saya yang tak mampu dan tak sanggup untuk melahap bakpau kacang hijaunya. Tindakan itu berdampak positif bagi saya, sebab hal tersebut membuat saya berkenalan dan berteman baik dengan anak perempuan malang yang tak mampu menghabiskan bakpau.
Dalam jangka waktu tiga hari, Masa Orientasi saya lalui. Selain dimarahi dan dibentak ketika pergerakan, latihan PBB, dan Makan Komando, tak ada memori lain yang berkesan selama MOS. Ah, saya ingat. Ketika hari ketiga MOS para anak baru diharuskan untuk menampilkan acara kesenian kepada seantero sekolah. Baru begitu saja sudah bikin malu, namun yang lebih aneh dan memalukan adalah seluruh penampilan yang ditampilkan setiap kelompok sama, yaitu drama. Drama yang ditampilkan juga memiliki tema yang sama, Homoseksualitas. Tentunya dalam bentuk komedi, bukan drama cinta terlarang yang membara antara Koboi yang keduanya berkelamin lelaki. Jujur, ketika melihat drama yang ditampilkan kelompok pertama saya tertawa terbahak-bahak. Namun ketika drama kedua, ketiga, dan seterusnya tema cinta terlarang dibawa terus saya hanya bisa melongo seperti sapi ompong. Tapi saya maklum, karena waktu yang diberikan untuk mempersiapkan pentas kesenian sangatlah singkat. Jadi wajar saja kalau temanya berjamaah.
MOS pun berakhir, masa belajar-mengajar pun dimulai. Saya dimasukkan di kelas Sepuluh-E atau XE. Anak-anak yang dimasukkan ke dalam kelas itu sebagian besar adalah anak-anak yang ceria dan pandai bergaul, sehingga hari pertama kelas sepuluh dimulai, XE sudah berisik. Namun saya menyukai keadaan kelas yang ramai tersebut, membuat perasaan nyaman. Hari-hari belajar dilewati bersama teman-teman di XE dengan damai dan tenang… Sampai acara kesiswaan yang lain tiba.
Acara tersebut adalah pesantren kilat yang diadakan selama tiga hari di Bulan suci Ramadhan. Saya akui, acara tersebut berlangsung damai, tenang, dan membosankan sebab dipenuhi acara ceramah yang membuat mata terlelap. Tetapi ada satu momen di mana acara tersebut menjadi menegangkan dan itu semua berkat kakak-kakak OSIS tercinta. Ketika kegiatan Outbond (menurut saya sangat aneh Outbond dilakukan pada saat Bulan Ramadhan di mana mayoritas muslim sedang berpuasa… tapi ya sudahlah…) selesai, tiba-tiba ketua bidang satu OSIS menahan kami di lapangan ketika kami seharusnya sudah duduk di plaza untuk berbuka. Dia berkata kalau kelompok yang ketika Outbond tidak mendapat poin yang cukup, maka kelompok tersebut tidak mendapat makan malam. Dia juga menyuruh kami untuk mencari solusi supaya satu angkatan bisa berbuka bersama. Setelah selama beberapa menit berbingung ria di lapangan sementara Azan Maghrib berkumandang, akhirnya kelompok yang mempunyai poin yang cukup bersedia membagi poinnya kepada kelompok yang kekurangan poin. Akhirnya satu angkatan dapat berbuka bersama. Untunglah, sebab saya sudah bayar.
Pesantren berakhir, dan masa damai pun kembali. Yah, tak sepenuhnya damai, sih. Sebab Ulangan Tengah Semester telah menanti, belum lagi harus menyelesaikan tugas yang diberikan para guru. Saya untungnya dapat melalui rintangan-rintangan di atas. Namun bukan berarti saya kembali ke Masa Damai, sebab dua minggu setelah UTS selesai, acara kesiswaan selanjutnya akan dimulai, dan acara ini bukanlah acara yang tenang dan damai. Nama acara ini adalah Trip Observasi atau biasa disingkat TO.
TO adalah kegiatan di mana kami akan dibagi ke dalam beberapa kelompok dan kelompok tersebut akan hidup bersama satu rumah dalam waktu lima hari di pedesaan. Tentunya kami tidak hanya hidup bersama, kami juga diharuskan menyelesaikan serangkaian tugas. Tetapi sebelum TO dimulai ada satu acara lain yang diadakan di sekolah selama tiga hari yang isu-isunya sangat mengerikan, bernama Pra TO.
Saya benci Pra TO, lebih dari MOS dan Pesantren Kilat. Bahkan setelah saya mengalami BINTAMA, acara kesiswaan kelas sepuluh yang terakhir, saya masih paling benci dengan Pra TO. Singkatnya selama tiga hari, tugas utama kami adalah membuat nametag dan tongkat untuk setiap anggota kelompok kami,. Kali ini nametagnya jauh lebih besar dan lebih sulit daripada nametag MOS dan harus dibuat di sekolah agar menghindari mendapat bantuan dari “pihak ketiga”. Untunglah tongkat cukup mudah. Selain harus mengerjakan nametag dan tongkat seharian suntuk, kami juga dimarahi dan dibentak. Tak ketinggalan adanya “Makan Komando” yang pelaksanaannya jauh lebih kejam. Intinya tiga hari penuh kesengsaraan. Kemudian pada hari kedua dan ketiga, karena pada hari pertama tongkat telah rampung, diadakan suatu acara yang bernama siaga tongkat. Setiap murid harus berdiri dalam sikap siap sambil memegang dan melindungi tongkat masing-masing agar tidak direbut oleh kakak OSIS. Jika tongkat direbut, maka murid yang kehilangan tongkatnya harus mengejar Kakak OSIS yang merebut tongkatnya untuk berargumen mengapa tongkatnya yang direbut harus dikembalikan kepada dirinya. Kemudian jika tongkat ketua kelompok direbut, maka seluruh anggota kelompok harus membantu untuk berargumen dengan kakak OSIS yang merebut tongkat ketua. Untunglah tongkat saya hanya direbut sekali oleh kakak OSIS, dan karena saya perempuan, maka untuk merebut kembali tongkat, saya harus dibantu oleh teman lelaki saya. Masalahnya tongkat ketua kelompok saya sering sekali direbut, sehingga kami sekelompok harus sering mengejar kakak OSIS. Kegiatan ini sangat melelahkan, menguras fisik dan mental. Namun akhirnya kami seangkatan berhasil melewati cobaan, dan setelah Pra TO berakhir, angkatan kami diberi nama, Nawadrastha Sandyadira yang artinya angkatan sembilan yang bermahkotakan persatuan.
Pra TO selesai, seminggu kemudian TO dimulai. TO tidaklah mengerikan seperti Pra TO, malah bisa dibilang cukup menyenangkan walau saya tetap ingin cepat-cepat pulang. Seperti yang sudah dikatakan di atas, ketika TO kami diharuskan untuk meyelesaikan serangkaian tugas. Namun, tugasnya diberi jangka waktu yang renggang, jadi kami bisa agak santai. Kegiatan yang paling berkesan ketika TO adalah penjelajahan dan malam api unggun. Terutama pada malam api unggun, di mana saya merasa sangat menyatu dengan angkatan saya.
Ketika TO selesai, saya merasa sangat lega. Beban berat seperti terangkat. Namun saya tidak bisa bersantai karena harus menghadapi Ulangan Akhir Semester atau UAS. Saya menyadari saat itu, hidup di Labschool tidak akan pernah tenang ataupun damai.
Semester satu selesai, libur akhir semester, dan akhirnya masuk kembali untuk semester dua. Kegiatan penting yang harus dilalui di Labschool selain kegiatan belajar mengajar adalah Studi Lapangan di Bandung dan BINTAMA. Jujur, saya bersenang-senang selama Studi Lapangan. Karena acara tersebut merupakan acara angkatan, tidak ada kakak OSIS bermuka tak begitu mengerikan namun menyebalkan yang memaki kami. Jadwalnya pun cukup renggang sehingga kami bisa bersantai.
BINTAMA, jika mendengar deskripsi acaranya, maka orang akan merasa kalau kegiatan ini mengerikan, bayangannya sudah dibentaki kopassus saja. Tetapi kenyataannya, BINTAMA adalah kegiatan yang cukup “ramah”. Para pelatih yang merupakan angota Kopassus memperlakukan kami dengan baik, seperti bapak kepada anaknya. Malah “Makan Komando” nya benar-benar baik hati. Kami tak perlu menghabiskan makanan kami jika tak mampu dan tidak diberi jangka waktu, yang penting selama makan tidak bersuara dan menjaga etika makan dengan baik. Kemudian kegiatan di BINTAMA lebih mengarah ke kegiatan fisik, sehingga tidak diberi tugas yang seperti tugas penelitian. Yang melelahkan dari BINTAMA adalah betapa lamanya kami menginap di Serang, yaitu enam hari.
Setelah merampungkan BINTAMA dan menerima rapor akhir semester dua kelas sepuluh, saya pun naik ke kelas sebelas dan mendapati diri saya di jurusan IPA. Begitu juga teman-teman seangkatan yang juga naik kelas dan masuk ke jurusan yang diinginkan. Sayangnya ada satu teman saya terpaksa tinggal kelas karena nilai-nilainya tidak mencukupi.
Ketika kelas X selesai dan menduduki bangku kelas XI, jujur saya merasa sangat bahagia. Karena semua acara kesiswaan sudah dijalani di kelas X, maka saya tak perlu lagi melewatinya di kelas XI. Belum lagi kelas XI mendapat jumlah hari libur yang paling banyak di antara kelas X,XI, dan XII. Indahnya dunia. Belum pernah saya merasa sebahagia ini di Labschool. OH….
Tetapi sebagai gantinya, tugas yang diberikan kepada murid kelas XI sangatlah menumpuk, baik dari mata pelajaran IPA, maupun non IPA. Apalagi pelajaran sejarah yang memberikan tugas individu yang luar biasa berat. Namun karena tidak dibebani tetek bengek seperti pesantren kilat, TO, dan BINTAMA, kehidupan sekolah serasa surga (setidaknya untuk tingkat Labschool yang keras). Nilai saya pun membaik karena jumlah mata pelajaran yang harus dipelajari lebih sedikit. Intinya saya cinta kelas sebelas! Hanya saja, di akhir kelas sebelas kami sudah diharuskan untuk mencari tema kartul masing-masing. Jujur, hal tersebut cukup membuat saya semaput karena pusing mencari judul. Judul yang saya dapatkan biasanya sudah diangkat atau terlalu sulit. Akhirnya setelah bergalau ria selama seminggu, akhirnya saya mendapat judul yang sesuai dan berhasil naik ke kelas dua belas.
Seperti saya katakan, lebih banyak duka daripada suka selama bersekolah di SMA Labschool Kebayoran. Namun saya tidak menyesal bersekolah di Labschool dan tidak berniat untuk pindah.